Thursday, March 12, 2015

Amr Bin Ash Ra

Amr Bin Ash Ra Amr bin Ash merupakan salah satu tokoh Quraisy yang paling gencar menghalangi dakwah Nabi SAW dan menyiksa orang-orang lemah yang masuk Islam. Karena itu Nabi SAW sempat berdoa kepada Allah agar menurunkanazab kepada tiga orang, yang salah satunya adalah 'Amr bin 'Ash. Tetapi kemudian turun ayat yang melarang Nabi SAW melakukan hal itu, yakni mendoakan keburukan bagi manusia (Surah Ali Imran 128). Amr bin Ash memiliki kemampuan yang tinggi di bidang politik dan strategi, karena itu ia menyadari bahwa dengan dikukuhkannya perjanjian Hudaibiyah, agama Islam yang dibawa Nabi SAW akan mencapaiketinggian yang tidak mungkin bisa dibendung lagi oleh orang Quraisy. Tetapi pengamatan dan prediksi yang tajam ini belum cukup untuk membawanya kepada Islam, ia justru berkata kepada teman-teman dekatnya, "Marilah kita bergabung dengan Raja Najasyi di Habasyah dan menjadi anak buahnya. Jika Muhammad menang atas kaum Quraisy, kita sudah ada di sisi Najasyi. Tetapi jika kaum kita yang menang, maka kita adalah orang yang telah mereka kenal, tidak ada sikap yang muncul dari mereka kecuali kebaikan saja." Teman-temannya itu menyetujuinya. Amr bin Ash memang telah cukup dikenal oleh Najasyi, raja Habasyah, karena ia pernah menjadi duta kaum Quraisy ketika kaum muslim hijrah ke Habasyah. Ia memanfaatkan hubungan baiknya ini agar bisa terselamatkan, ketika pertentangan dua kubu, Kaum Quraisy dan orang-orang Islam, makin memuncak. Amr membawa kulit-kulit yang disamak, salah satu barang yang sangat disukai Najasyi, sebagai hadiah dalam jumlah yang cukup besar. Setibanya di Habasyah dan bersiap menghadap Najasyi, tampak utusan Nabi SAW, Amr bin Umayyah adh Dhamri, masuk menemui Najasyi berkaitan dengan keberadaan Ja'far bin Abu Thalib dan kaum Muhajirin lainnya di Habasyah. Setelah Amr bin Umayyah keluar dari majelis Najasyi, Amr bin Ash memasuki ruangan, ia bersujud seperti yang selama ini dilakukannya, dan Najasyi menyapanya, "Selamat datang sahabat karibku, apakah engkau membawa hadiah dari negerimu untukku?" Ketika Amr menyerahkan hadiah kulit-kulit tersebut, tampak sekali kegembiraan dan ketakjuban Najasyi, apalagi jumlahnya cukup banyak. Pada saat melihat utusan Nabi SAW datang, muncul niat Amr untuk membunuh sahabat Nabi SAW itu, maka ia berkata kepada Najasyi, "Wahai tuanku, aku melihat seorang lelaki yang baru keluar dari majelis ini, ia adalah utusan dari lelaki yang menjadi musuh kami. Serahkanlah ia padaku untuk kubunuh, karena lelaki itu (Muhammad) telah banyak menghina dan melecehkan pemuka-pemuka kami." Mendengar permintaan Amr ini, Najasyi sangat marah, danAmr menangkap ekspresi itu dan ia sangat ketakutan. Kalau saja saat itu bumi terbelah, rasanya ia ingin memasukinya agar terhindar dari kemarahan Najasyi. Karena itu buru-buru ia berkata lagi, "Tuanku, demi Allah, aku mengira tuan tidak menyukai permintaanku itu!!" Najasyi berkata, "Apakah engkau meminta aku menyerahkan utusan dari seorang lelaki yang didatangi Malaikat Jibril, sebagaimana ia datang kepada Musa, agar engkau bisa membunuh utusan itu?" "Wahai Najasyi, Apakah ia memang orang yang seperti itu?" Tanya 'Amr. Amr bin Ash tentulah tidak mengerti bahwa telah beberapa hari lamanya utusan Rasulullah SAW tersebut tinggal di Habasyah, dan salah satu misinya adalah membawa surat beliau untuk menyeru Najasyi memeluk Islam, dan ia telah menyambutnya dengan tangan terbuka. Bahkan Najasyi telah mewakili Rasulullah SAW melamar Ummu Habibah binti Abu Sufyan untuk menjadi istri beliau. Najasyi berkata, “Kecelakaan bagimu, hai Amr, taatilah aku dan ikutilah dia (Nabi SAW), karena sesungguhnya dia berada di atas kebenaran. Dan dia akan memperoleh kemenangan dari siapapun yang menentangnya, sebagaimana Musa bin Imran memperoleh kemenangan atas Fir'aun dan bala tentaranya." Mendengar ucapan Najasyi ini, seperti ada kilat yang menyambar hatinya, tetapi sekaligus membuka mata hatinya hingga hidayah Allah SWT meneranginya. Amr berkata kepada Najasyi, "Maukah engkau memba'iat aku atas islam untuknya?" “Baiklah!!” Kata Najasyi, dan ia memba'iat 'Amr untuk memeluk Islam. Amr keluar dari majelis Najasyi dengan pandangan tentang Nabi SAW, yang jauh berbeda dengan ketika ia memasukinya. Tetapi ia masih menyembunyikan keislamannya dari sahabat- sahabatnya yang menunggu di luar, dan mengajak mereka kembali ke Makkah dengan dalih misinya gagal Diam-diam ia berencana menemui Nabi SAW di Madinah untuk menyatakan dan mengukuhkan keislamannya. Beberapa kemudian, di suatu pagi yang masih cukup gelap, 'Amr bin Ash meninggalkan kota Makkah menuju Madinah hingga tidak ada orang yang mengetahuinya. Tetapi ketika sampai di Haddah, suatu tempat antara Makkah dan Thaif, Amr melihat dua orang telah berjalan mendahuluinya meninggalkan kota Makkah. Ketika keduanya beristirahat, salah satunya dari mereka menambatkan tunggangannya,dan satunya lagi masuk ke kemah. Setelah makin dekat, ternyata orang itu Khalid bin Walid, Amr pun bertanya, "Hendak kemanakah engkau, hai Abu Sulaiman?" Khalid menjawab kalau akan ke Madinah menemui Nabi SAW untuk masuk Islam, tak lama kemudian orang yang di dalam kemah keluar, ternyata Utsman bin Thalhah. Amr gembira sekali karena bertemu dengan teman seperjuangan di dalam kekafiran, yang bermaksud sama untuk memeluk Islam. Mereka-pun sepakat untuk bersama-sama menyampaikan ba’iat keislaman di hadapan Nabi SAW. Mereka bertiga sampai di Madinah di awal bulan Safar tahun 8 H selepas ashar, mereka mendekati masjid Nabi SAW. Tampak kegembiraan Nabi SAW dan sahabat-sahabatnya melihat kedatangannya, Beliau bersabda, "Makkah telah melepas jantung-jantung hatinya kepada kita…." Terdengar juga seorang sahabat lainnya berkomentar, "Seluruh penduduk Makkah akan tunduk kepada beliau karena dua lelaki ini…" Amr merasa, bahwa yang dimaksud dua orang itu adalah dirinya dan Khalid bin Walid. Pertama Khalid bin Walid yang berba'iat kepada Rasulullah SAW untuk memeluk Islam,Amr menyusul dan diikuti olehUtsman bin Thalhah.Amr berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya aku berba'iat kepadamu agar diampuni dosa-dosaku yang terdahulu." Nabi SAW bersabda, "WahaiAmr, berba'iatlah karena sesungguhnya Islam menghapus dosa-dosa yang terdahulu, dan hijrah juga menghapus dosa-dosa yang telah lalu." Sejak keislamannya, ia terjun dalam beberapa pertempuran bersama Rasulullah SAW. Tetapi jiwa pemimpin dan kelicinan strateginya baru menonjol jaman khalifah Umar bin Khaththab, bahkan ia terkenal dengan sebutan "Penakluk Mesir", karena pasukan yang dikomandaninya berhasil mengalahkan dan mengusir pasukan Romawi dari sana, dan akhirnya Mesir menjadi salah satu negara yang menjadi ikon Islam sampai sekarang. Sebuah peristiwa menarik terjadi dalam pertempuran melawan pasukan Romawi di Mesir. Riwayat lain menyebutkan peristiwa ini terjadi di Perang Yarmuk di Syiria, juga melawan pasukan Romawi. Amr bin Ash sebagai komandan pasukan muslim yang mengepung benteng Romawi, diundang oleh komandan benteng (arthabon) untuk berunding. Sebenarnya undangan ini hanya jebakan belaka, mereka telah menyiapkan perangkap, jika Amr bin Ash kembali dari pertemuan tersebut, mereka akan menimpakan batu-batu yang telah disiapkan hingga ia tewas. Tanpa prasangka apa-apa, Amr memenuhi undangan tersebut. Setelah terjadi beberapa kesepakatan, Amr akan kembali, tetapi ia menangkap suatu gejala yang tidak semestinya. Di luar ruangan, ia melihat beberapa gerakan di atas benteng yang mencurigakan, padahal ia akan lewat di bawahnya. Sadarlah Amr bahwa ia masuk dalam jebakan mereka. Ia berfikir cepat, kemudian kembali menemui Arthabon dan berkata, "Wahai Arthabon, di markasku di sana, menunggu beberapa sahabat utama Rasulullah, merekalah yang paling didengar pendapatnya oleh khalifah Umar jika mengambil keputusan penting. Karena itu aku ingin membawa mereka ke sini untuk memantapkan kesepakatan kita ini…." Arthabon terpancing dengan siasat Amr yang sebenarnya hanya bohong semata, ia berfikir, "Kalau bisa membunuh beberapa tokoh orang muslim sekaligus, sebaiknya ditunda saja sampai mereka semua datang. Apalagi sepertinya orang ini (Amr bin Ash), bukanlah pimpinan tertinggi dari pasukan muslim tersebut…" Ia segera memberi kode tertentu kepada prajuritnya untuk menunda atau membatalkan rencananya, dan Amrbisa keluar dari benteng dengan selamat. Ia tersenyum dalam hati melihat Arthabon termakan muslihatnya. Keesokan harinya, Amr mengerahkan pasukannya menyerbu benteng Mesir dengan semangat membara. Sementara itu pasukan Romawi yang justru tidak siap dengan serangan tersebut. Mereka beranggapan kalau para pimpinan pasukan muslim, seperti yang dikatakan Amr, masih akan datang untuk mematangkan perundingan. Akibatnya mereka dengan mudah dikalahkan dan benteng tersebut jatuh ke tangan kaum muslimin, berkat kepiawaian Amr bin Ash. Amr bin Ash adalah tipikal seorang negarawan ulung dan mempunyai ambisi dalam kekuasaan, namun demikian ia termasuk orang yang amanah. Karena itu, Umar bin Khaththab tetap mempercayainya memegang jabatan gubernur Mesir walaupun ia hidup bergelimang harta, tetapi tentu saja ia dalam pengawasan yang ketat dari Umar. Pernah ia hidup terlalu berlebihan dari kekayaan yang dimilikinya, segera saja Umar mengirim utusan, yakni Muhammad bin Maslamah, dan memerintahkan harta Amr dibagi dua, separoh untuk Amr bin Ash dan separuhnya lagi diserahkan ke baitul mal, untuk kemaslahatan kaummuslimin secara umum. Amr-pun dengan senang hari menerima keputusan Umar tersebut. Ketika terjadi pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, pena takdir membawa Amr bin Ash pada pilihan berpihak Muawiyah, tentu dengan alasan dan motivasi yang hanya diketahui oleh Amr. Yang jelas, peran Amr bin Ash sangat besar dalam memenangkan Muawiyah atas Ali bin Abi Thalib, walau dengan cara dan jalan yang tidak sepenuhnya benar, dengan cara siasat dan muslihat yang memang sangat dikuasai oleh Amr bin Ash. Dalam pertempuran Shiffin, ketika pasukan Muawiyah terdesak dan hampir dikalahkan oleh Pasukan Ali, Amr menyarankan kepada Muawiyah untuk mengangkat al Qur'an dengan pedang atau tombaknya dan berteriak untuk bertahkim/berhukum dengan Al Qur'an. Siapapun tahu bahwa Ali bin Abi Thalib orang yang sangat mengenal dan menghargai Al Qur'an, bahkan ia termasuk salah satu dari "pemimpin-pemimpin" para penulis dan penghafalnya.Salah satu dari lima orang, yakni Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Abbas, Ubay bin Ka'ab dan Zaid bin Tsabit. Begitu sarannya tersebut dilaksanakan Muawiyah, Ali memerintahkan pasukannya untuk menghentikan serangan kepada pasukan Muawiyah. Banyak sekali kecaman dari sahabat dan tentaranya atas sikapnya ini, tetapi Ali tak bergeming. Pada dasarnya Ali memang tidak menghendaki peperangan tersebut terjadi, dan ia juga bukan tipikal orang yang ambisius dengan kemenangan, kekuasaan dan jabatan. Maka ketika jalan perundingan yang diminta, apalagi berhujjah dengan al Qur'an, serta merta Ali menyetujuinya. Masing-masing pihak mengirimkan juru runding, Muawiyah mengirim Amr bin Ash dan Ali bin Abi Thalib mengirimkan Abu Musa al Asy'ari. Sesungguhnyalah Ali ingin mengirimkan Abdullah bin Abbas karena ia telah mengenal dengan baik karakter Amr bin Ash yang suka bersiasat, dan itu akan bisa diimbangi oleh Ibnu Abbas. Sementara Abu Musa al Asy'ari seorang sahabat yang saleh, yang selalu saja husnudzon pada orang lain. Tetapi karena mayoritas pasukan menghendaki Abu Musa, Ali menyetujuinya. Dalam perundingan dua tokoh sahabat yang berbeda karakter ini, disepakati bahwa kedua pemimpin harus meletakkan jabatannya terlebih dahulu, kemudian diadakan pemilihan langsung terhadap salah satu dari keduanya,siapa yang diba'iat lebih banyak, dialah yang berhak menjadi khalifah. Masing-masing wakil pihak harus berpidato di hadapan seluruh pasukan dan melepaskan jabatan yang diwakilinya, baru setelah itu bisa dilaksanakan pemilihan. Abu Musa menerima perundingan tersebut dengan segala prasangka baiknya kepada Amr bin Ash. Abu Musa menuruti permintaan Amr untuk berpidato pertama kali dan menanggalkan jabatan khalifah dari Ali. Setelah Abu Musa turun dari podium, Amr bin Ash menggantikan berpidato, ia berkata, "Sesungguhnya Abu Musa telah menanggalkan jabatan khalifah dari pemimpinnya, Ali bin Abi Thalib, dan saya pun menyatakan hal yang sama. Selanjutnya, dengan ini saya menetapkan Muawiyah sebagai khalifah dan Amirul mukminin yang bertanggung jawab atas penuntutan darah khalifah Utsman bin Affan, hendaklah kalian berba'iat kepadanya." Abu Musa al Asy'ari terperangah kaget dengan perkataan Amr bin Ash, sama sekali ia tidak menyangka muslihat tersebut. Sementara Ali tampak tenang, sepertinya ia telah menduga hasil dari pertemuan dua tokoh tersebut. Pasukan Ali yang sebelumnya telah terpecah belah karena penghentian pertempuran yang diambang kemenangan makin kacau balau. Sebagian berbalik memusuhi Ali, sebagian lagi keluar dari pasukan utama. Inilah peran besar Amr bin Ash dalam membalik keadaan, dari kekalahan total menjadi kemenangan pihak Muawiyah atas pihak Ali bin Abi Thalib.Tetapi menjelang ajalnya di tahun 43 hijriah, ketika itu ia menjabat gubernur Mesir di masa pemerintahan Muawiyah, seolah-olah ia menyadari semua langkah-langkah keliru dalam bersiasat dan bermuslihat, dan ia berdoa, "Ya Allah, aku ini orang yang tak luput dari kesalahan, mohon Engkau memaafkannya, aku ini orang yang tak sunyi dari kelemahan, mohon Engkau memberikan pertolongan. Jika Engkau tidak melimpahkan rahmat karunia- Mu, celakalah nasibku, Ya Rabbi…!!"

Abdullah bin Amr bin Ash Ra

Abdullah Bin Amr Bin Ash Ra Abdullah bin Amr bin Ash RA adalah putra dari seorang ahli strategy perang dan negarawan ulung, Amr bin Ash,tetapi ia lebih dahulu memeluk Islam daripada bapaknya itu. Ia seorang yang saleh, banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah, kecuali jika sedang berjihad di jalan Allah. Ketika menyandang senjata untuk mempertahankan dan meninggikan kalimat-kalimat Allah,ia akan berada di barisan terdepan karena sangat merindukan memperoleh ‘rezeqi’ kesyahidan. Dalam usianya yang masih muda, aktivitas ibadahnya begitu tinggi, siang berpuasa, malam dihabiskan dengan tahajud dan membaca Al Qur'an sehingga ia mampu mengkhatamkannya dalam sehari. Ia begitu zuhud, bahkan tidak pernah ia membicarakan masalah duniawiah sejak ia berba'iat kepada Nabi SAW, padahal lingkungan keluarga termasuk kalangan bangsawan dan kaya-raya. Ketika ia dinikahkan, beberapa hari kemudian ayahnya datang mengunjungi dan bertemu istrinya. Amr bin Ash berkata, “Bagaimana keadaan kalian?” Istrinya berkata, “Sungguh aku tidak mencela akhlak dan kesalehannya, tetapi sepertinya ia tidak membutuhkan seorang wanita di sisinya!!” Amr bin Ash menatap tidak mengerti, tetapi kemudian ia mendapat penjelasan, kalau Abdullah bin Amr sama sekali belum menyentuhnya dalam beberapa hari setelah menikah itu. Ia begitu intens beribadah seperti biasanya, sehingga tidak ada sedikitpun waktu untuk istrinya. Hal itu memaksa Amr bin Ash melaporkannya kepada Rasululah SAW, sehinggabeliau campur tangan untuk ‘mengerem’ semangat ibadahnya. Tetapi di hadapan Rasulullah SAW, Abdullah bin Amr justru berkata, "Ya Rasulullah, ijinkanlah saya menggunakan sepenuh tenaga saya untuk beribadah kepada Allah?" Nabi SAW bersabda, "Jika engkau melakukan semua itu, badanmu akan lemah, matamu akan sakit karena tidak tidur semalaman. Sesungguhnya badanmu punya hak, keluargamu juga punya hak, dan para tamupun punya hak atas dirimu…!" Maka terjadilah "tawar-menawar" antara Abdullah dan Rasulullah SAW dalam soal ibadahnya. Kalau umumnya manusia akan meminta ijin beribadah seringan dan sesedikit mungkin, maka Abdullah meminta ijin untuk beribadah sebanyak dan seberat mungkin. Dalam soal puasa misalnya, Nabi SAW menyarankannya agar berpuasa tiga hari dalam sebulan, tetapi Abdullah minta tambahan, diberi dua hari dalam seminggu, masih minta tambahan lagi, akhirnya ditetapkan Nabi SAW sehari berpuasa sehari berbuka, yakni puasanya Nabi Dawud AS. Begitu juga dalam soal mengkhatamkan Al Qur'an, pertama Nabi SAW menyarankannya untuk khatam sebulan sekali saja. Abdullah melakukan penawaran, sehingga Nabi SAW menetapkan 20 hari sekali, kemudian 10 hari sekali, dan seminggu sekali. Tetapi Ibnu Amr bin Ash masih meminta lebih lagi, akhirnya Nabi SAW menetapkannya untuk khatam Al Qur’an setiap tiga hari sekali (dalam riwayat lain, lima hari sekali). Begitu juga soal shalat malam, beliau melarang Abdullah menghabiskan waktu malam untuk shalat sunnah terus-menerus, harus ada waktu untuk mengistirahatkan tubuhnya dengan tidur, dan mempergauli istrinya. Walau telah dinasehati langsung oleh Nabi SAW, semangatnya untuk beribadah tidak segera mengendor begitu saja, tetapi ia tidak melalaikan kewajiban dan hak-hak keluarga, badan, tamu dan lain-lainnya. Ibadahnya dengan intensitas tinggi masih saja berlangsung tanpa bisa dihalangi lagi. Melihat keadaannya itu, Nabi SAW akhirnya bersabda, "Sesungguhnya engkau tidak tahu, bisa jadi Allah akan memanjangkan umurmu...!!" Benarlah apa yang disabdakan Nabi SAW, ia mencapai usia tua, tubuhnya mulai lemah dan tulangnya seakan tak mampu menyangga tubuhnya dalam waktu lama. Ia susah payah menetapi amal istiqomah yang telah "dijanjikannya" kepada Nabi SAW di masa mudanya. Ia jadi menyesal mengapa tidak menerima nasehat beliau saat mudanya itu. Ia seringkali berkata, "Aduhai malangnya nasibku, mengapa tidak aku ikuti keringanan yang diberikan Rasulullah SAW…!!" Abdullah bin Amr mempunyai kebiasaan mencatat apapun yang disabdakan Nabi SAW, dalam sebuah catatan yang disebut Shadiqah, hal ini dimaksudkan agar ia mudah menghafalkannya. Rasulullah SAW memang pernah melarang para sahabat untuk mencatat sabda-sabda beliau karena dikhawatirkan akan tumpang tindih dengan ayat-ayat Al Qur'an. Tetapi kemudian Nabi SAW secara khusus menugaskan beberapa orang sahabat untuk mencatat firman-firman Allah tersebut, dan Ibnu Amr bin Ash tidak termasuk di dalamnya sehingga beliau membiarkannya. Beberapa sahabat juga berkata, "Rasulullah SAW juga manusia biasa, terkadang beliau marah, dan dalam marahnya ini beliau mengatakan sesuatu. Begitu juga terkadang beliau hanya bercanda dalam ucapannya itu. Karena itu jangan engkau mencatat apapun yang beliau sabdakan!!" Karena nasehat mereka ini, Abdullah bin Amr sempat menghentikan kebiasaannya tersebut. Tetapi tampaknya ia merasa ‘gatal’ jika sesaat saja tidak ‘merekam’ apa yang dilakukan Rasulullah SAW. Karena itu ia bertanya kepada Nabi SAW tentang apa yang dilakukannya, termasuk nasehat beberapa orang sahabat, maka beliau bersabda, "Teruskanlah menulis, demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya, setiap perkataanku adalah kebenaran, walaupun aku dalam keadaan marah, ataupun senang." Abu Hurairah juga pernah berkomentar atas kebiasaan Abdullah bin Amr ini, "Di antara para sahabat, tidak ada yang menyamai saya dalam hal hafalan hadits-hadits Nabi SAW, kecuali Ibnu Amr bin Ash, karena dia selalu mencatat segala apa yang disabdakan Nabi SAW, sedangkan saya hanya mengandalkan ingatan saja." Ketika terjadi pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, sesungguhnya ia tidak ingin berpihak kepada kedua kelompok sebagaimana dianut beberapa sahabat seperti Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, dan beberapa sahabat lainnya. Tetapi menjelang terjadinya perang Shiffin, ayahnya, Amr bin Ash yang berpihak kepada Muawiyah mendatanginya dan mengajaknya berperang di pihaknya. Abdullah bin Amrberkata, "Bagaimana mungkin? Rasulullah SAW telah berwasiat kepadaku untuk tidak menaruh pedangku di leher seorang muslim untuk selama-lamanya…..!!" Bukan Amr bin Ash namanya kalau tidak mampu bersiasat, ia mengemukakan berbagai alasan, terutama menyangkut "menuntut bela atas pembunuhan Utsman bin Affan". Setelah beberapa argumen ayahnya mampu dipatahkannya, akhirnya Amr bin Ash berkata, "Ingatkah engkau wahai Abdullah wasiat terakhir Nabi SAW, beliau mengambil tanganmu dan meletakkan di atas tanganku, dan memerintahkan engkau untuk taat kepada ayahmu ini? Dan sekarang saya menghendaki engkau turut bersama kami, berperang bersama kami….!!" Mendengar argumen ini, Abdullah bin Amr dilanda kebimbangan yang amat sangat. Jauh di dalam hatinya, kebenaran yang sangat diyakininya, ia tidak ingin terlibat dalam pertikaian itu. Tetapi ia seakan tidak punya kekuatan menolak ketika diingatkan akan pesan Nabi SAW dan janjinya untuk melaksanakannya. Akhirnya ia mengikuti pertempuran tersebut dengan setengah hati dan berada di pihak Muawiyah. Ia mengetahui bahwa Ammar bin Yasir berperang di pihak Ali, dan masih jelas terngiang nubuwat Nabi SAW tentang kematian Ammar bin Yasir di tangan para pendurhaka. Ia hadir juga dalam penggalian parit khandaq ketika Nabi SAW menyabdakan hal itu. Sebagian riwayat menyebutkan, ia tidak pernah mengangkat senjatanya walau ia berada di antara personal pasukan Muawiyah. Tetapi begitu ia mendengar kabar bahwa Ammar bin Yasir telah terbunuh, ia langsung berteriak keras, "Apa? Ammar telah terbunuh, dan kalian pembunuhnya? Kalau demikian kalianlah kaum pendurhaka itu, kalian berperang di jalan yang salah…..!!" Abdullah bin Amr berjalan berkeliling sambil meneriakkan kata-kata tersebut sehingga melemahkan semangat pasukan Muawiyah. Ketika hal itu dilaporkan kepada Muawiyah, ia memanggil Amr bin Ash dan anaknya tersebut, dan berkatakepada Amr bin Ash, "Kenapa tidak engkau bungkam anakmu yang gila ini..!!" Amr bin Ash hanya diam, tetapi justru Abdullah berkata dengan tegas tanpa ketakutan sedikitpun, "Aku tidak gila, tetapi aku telah mendengar Nabi SAW bersabda kepada Ammar, bahwa ia akan dibunuh oleh kaum yang durhaka atau aniaya…!!" "Kalau begitu, kenapa engkau ikut bersama kami??" Tanya Muawiyah. "Tidak, " Kata Abdullah bin Amr, "Aku hanya mengikuti wasiat Nabi SAW untuk taat kepada ayahku, dan akutelah menaatinya dengan pergi kesini, tetapi aku tidak pernah ikut berperang bersamamu…!!" Di tengah pembicaraan tersebut, pengawal Muawiyah mengabarkan kalau pembunuh Ammar ingin menghadap masuk. Abdullah bin Amr langsung berkata, "Suruhlah dia masuk, dan sampaikan kabar gembira kepadanya, dia akan menjadi umpan api neraka…!!" Muawiyah menjadi murka mendengar perkataannya tersebut, tetapi Abdullah bin Amr tetap bertahan dengan perkataannya tersebut, bahwa pembunuh Ammar bin Yasir adalah kaum yang durhaka dan berperang di jalan yang salah, begitu Nabi SAW mengabarkan bertahun-tahun sebelumnya, dan ia meyakini akan kebenarannya. Ia berpaling kepada ayahnya dan berkata, "Kalau tidaklah Rasulullah menyuruh saya menaati ayah, saya tidak akan pernah menyertai perjalanan ayah ke sini, dan kini saya telah memenuhi wasiat beliau…" Setelah itu Abdullah bin Amr kembali ke Madinah dan mengurung diri di mushalla rumahnya. Ia tidak habis-habisnya menyesali keterlibatannya di perang Shiffin dan berada di pihak Muawiyah. Ia selalu menangis dan mengeluh, "Wahai, apa perlunya aku ke Shiffin…apa perlunya aku memerangi kaum muslimin…!!!" Suatu hari ia duduk di masjid bersama beberapa orang sahabat, lewatlah Husein bin Ali. Setelah menyampaikan salam, ia berlalu masuk ke masjid tanpa memperdulikan kumpulan sahabat. Abdullah bin Amr berkata, "Tahukah kalian penduduk bumi yang paling dicintai penduduk langit? Dialah Husein bin Ali yang baru saja berlalu di hadapan kita. Sejak perang Shiffin, ia tidak mau berbicara denganku…Sungguh, ridhanya kepadaku lebih aku sukai daripada barang berharga apapun juga…!!" Ia meminta tolong kepada sahabat Abu Sa'id al Khudri untuk bisa bertemu dengan Husein, dan mereka diijinkan untuk berkunjung ke rumah cucu kesayangan Rasulullah SAW itu. Terjadilah berbagai macam pembicaraan, sampai akhirnya Husein bertanya, "Apa yang membawamu ikut berperang di pihak Muawiyah?" Abdullah bin Amr berkata, "Ayahku pernah mengadukan aku kepada Rasulullah karena berpuasa setiap hari, shalat malam sepanjang malam dan mengkhatamkan al Qur'an setiap hari, maka Nabi SAW berwasiat kepadaku, 'Hai Abdullah puasalah dan berbuka, shalatlah malam dan tidurlah, bacalah Qur'an dan berhentilah, dan taatilah ayahmu…' Saat perang Shiffin terjadi, ayahku mendatangiku dan memaksaku mengikutinya dengan membawa wasiat Nabi SAW tersebut…tetapi demi Allah, aku tidak pernah menghunus pedang, melemparkan tombak atau melepaskan anak panah pada perang tersebut…." Abdullah bin Amr juga menjelaskan apa yang dilakukannya terhadap Muawiyah setelah terbunuhnya Ammar bin Yasir, dan sikapnya meninggalkan pertempuran tersebut. Husein akhirnya ridha kepadanya setelah semua penjelasannya tersebut. Abdullah bin Amr menangis penuh haru. Pada masa pemerintahan Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Amr meninggal pada usia 72 tahun di mushalla rumahnya, ketika itu ia baru selesai menjalankan shalat dan sedang bermunajat kepada Allah. Sungguh saat akhir yang amat indah (khusnul khotimah) yang amat dirindukan oleh semua kaum muslimin

Wednesday, March 11, 2015

usamah Bin Zaid

Usamah Bin Zaid Ra Usamah bin Zaid adalah putra dari sahabat kesayangan Rasulullah SAW, Zaid bin Haritsah, yang beliau pernah menjadikannya sebagai anak angkat, dari status sebelumnya sebagai budak dan pelayan beliau. Ibunya-pun adalah orang yang dekat dan disayang Rasulullah SAW, Ummu Aiman, bekas sahaya beliau. Keduanya merupakan orang-orang yang mula-mula memeluk Islam, sehingga tak heran Usamah-pun menjadi kesayangan beliau seperti juga ayahnya. Usamah lahir pada tahun ketiga atau keempat dari kenabian, sehingga praktis ia ia tidak pernah mengalami masa jahiliah. Didikan masa kecil dan remajanya adalah akhlak kenabian, baik dari kedua orang tuanya yang adalah didikan Nabi SAW, atau bahkan terkadang beliau turun langsung dalam membentuk akhlak Usamah. Kondisi seperti inilah yang menambah rasa sayang beliau kepadanya. Beberapa sahabat-pun sangat sayang pada remaja ini melebihi anaknya sendiri, seperti yang terjadi pada Umar bin Khaththab. Saat menjadi khalifah, Umar pernah membagi-bagikan uang pada masyarakat, dan jumlahnya berbeda-beda berdasarkan kedudukan dan jasa mereka kepada Islam, dan juga penilaian Nabi SAW atas mereka. Ketika tiba giliran anaknya, Abdullah bin Umar, ia memberikan satu bagian. Giliran Usamah bin Zaid, Umar memberikannya dua bagian dari bagian anaknya. Abdullah bin Umar jadi bertanya-tanya, bukan masalah jumlahnya karena pada dasarnya ia juga didikan Nabi SAW yang mengutamakan kehidupan zuhud dan sederhana seperti juga Umar, ayahnya. Hanya saja ia takut ada yang kurang dalam amal ketaatan dan kesalehannya, karena itu ia bertanya, "Wahai ayah, mengapa engkau mengutamakan Usamah dibanding anakmu sendiri? Bukankah saya mengikuti pertempuran yang tidak atau belum diikutinya bersama Rasulullah??" Tetapi jawaban Umar tegas dan tidak dapat dibantah lagi, ia berkata, "Usamah lebih dicintai Rasulullah daripada dirimu, seperti juga ayahnya lebih disayang Rasulullah daripada ayahmu….!!" Dalam usianya yang masih sangat muda, ia telah ikut menerjuni beberapa pertempuran bersama Nabi SAW. Dalam Fathul Makkah, ketika Nabi SAW akan memasuki Ka'bah, beliau membawa Bilal di sisi kanan dan Usamah bin Zaid di sisi kiri beliau. Sungguh kehormatan besar yang diberikan Nabi SAW kepada keduanya, bukan Abu Bakar atau Umar, atau delapan sahabat lainnya yang telah beliau jamin masuk surga. Dua orang itu adalah bekas budak yang secara umum, mungkin kedudukannya tampak rendah di masyarakat. Nabi SAW pernah mengirimkan suatu pasukan di bawah kepemimpinan Usamah bin Zaid, pengalaman pertamanya memimpin suatu pasukan setelah sebelumnya hanya sebagai prajurit biasa. Pasukannya ini memperoleh kemenangan gemilang, dan sebagai orang yang disayang, Nabi SAW langsung menyambutnya dan memintanya menceritakan pengalamannya. Mulailah Usamah menceritakan jalannya pertempuran. Tampak wajah Nabi SAW berseri karena senangnya dengan apa yang dijalani "Kesayangan Rasulullah SAW, putra dari kesayangan Rasulullah SAW", begitu kebanyakan sahabat menyebut Usamah bin Zaid ini. Ketika Usamah menceritakan, bahwa seorang pemanggul panji musyrik yang perkasabanyak membunuh dan melukai tentara muslim sehingga pedangnya berlepotan darah dan daging para syahid masih menempel. Usamahpun mengejar dan memerangi langsung orang tersebut. Ia berhasil melumpuhkannya, tetapi ketika ia akan melakukan pukulan terakhir dengan tombaknya, orang tersebut mengucap "La ilaaha illallah". Usamah sempat bimbang, tetapi dipikirnya, itu hanya siasat untuk menyelamatkan diri saja, karena itu ia terus menombaknya hingga tewas. Tiba-tiba saja wajah Nabi SAW berubah merah padam tanda beliau marah, beliau berkata, "Celaka engkau wahai Usamah, begitukah tindakanmu terhadap orang yang mengucap 'La ilaaha illallah'??" "Wahai Rasulullah," Kata Usamah mencoba menjelaskan dan membela diri, walau dengan ketakutan, "Dia mengatakan kalimat itu hanya untuk menyelamatkan diri saja….!!" "Begitu!!" Kata Nabi SAW, masih dengan nada tinggi, pertanda beliau masih marah, "Mengapa tidak engkau belah dadanya dan engkau lihat apakah ia mengatakannya itu ikhlas dari hatinya atau karena pura-pura semata??" Memang, bukanlah hak dan kewajiban kita menilai apa yang ada di dalam hati seseorang, apa yang tampil dan terlihat itu saja yang menjadi ukuran kita dalam mengambil sikap. Itulah pelajaran berharga yang ingin disampaikan Nabi SAW pada pemuda kesayangan beliau tersebut, sekaligus kepada kita semua. Atas peristiwa tersebut, Nabi SAW menyatakan Usamah telah bersalah, tetapi tidak ditetapkan qishas (hukum bunuh, dipancung) atas dirinya, karena "pembunuhan" yang dilakukannya tidak sengaja, hanya suatu kesalahan. Nabi SAW mengumpulkan harta benda untuk membayar diyat (seratus ekor unta) kepada keluarga pemanggul panji musyrik yang mengucap "La ilaaha illallaah" tersebut. Usamah sendiri tak henti-hentinya bertobat dan menyesali "kelancangannya" tersebut, sehingga menyebabkan Nabi SAW begitu murka kepadanya, walaupun kemudian beliau mendoakan untuk mendapat rahmat dan maghfirah Allah baginya. Tetapi setiap kali mengingat peristiwa tersebut, selalu saja ia menangis dan menyesal sambil berkata, "Amboi, andai saja ibuku tidak pernah melahirkan diriku…..!!" Beberapa hari sebelum wafat, Nabi SAW menghimpun pasukan besar yang akan dikirim ke Syam, tepatnya di wilayah Palestina, pada tempat bernama Abna. Latar belakang pengiriman pasukan ini adalah terbunuhnya Farwah bin Amr al Judzami, bekas komandan pasukan Arab yang berpihak Romawi, yang juga gubernur Ma'an karena keputusannya memeluk Islam. Ia disalib dan dipenggal kepalanya oleh penguasa Romawi di Palestina. Pasukan besar tersebut terdiri dari pejuang-pejuang senior dari kaum Muhajirin dan Anshar ini, termasuk Umar bin Khaththab dan para Ahlul Badr lainnya. Nabi SAW memutuskan pimpinan pasukan diserahkan kepada Usamah bin Zaid. Keputusan beliau ini ternyata menimbulkan perbincangan dan kritikan dari beberapa orang sahabat. Yang paling keras komentarnya adalah Ayyasy bin Abi Rabiah, ia berkata, "Anak kecil itu menjadi komandan dan amir dari kaum muhajirin awal??" Saat itu Nabi SAW telah sakit cukup parah dan beliau tidak mengetahui secara langsung perbincangan pro-kontra yang terjadi dan berkembang di masyarakat Madinah. Ketika Umar mengabarkan hal tersebut, beliau bangkit dan mengikat kepala beliau dengan sorban untuk mengurangi rasa sakit. Sambil memakai selimut, beliau naik ke atas mimbar di mana orang-orang sedang berkumpul. Setelah memuji Allah, beliau bersabda, "Telah kudengar sebagian dari kalian mengecam kepemimpinan Usamah. Demi Allah, jika kalian mengecamdirinya, berarti kalian mengecam bapaknya. Demi Allah, sungguh ia (Zaid bin Haritsah) layak sebagai pemimpin, dan sepeninggal bapaknya, putranya sangat layak sebagai pemimpin. Dan sungguh, Zaid adalah orang yang sangat aku kasihi, demikian juga Usamah. Keduanya layak untuk mendapat semua kebajikan, karena itu, berwasiatlah kalian dalam kebajikankarena ia adalah sebaik-baiknya orang di tengah kalian…!!" Peristiwa tersebut terjadi pada hari sabtu tanggal 10 Rabi'ul Awal. Setelah khutbah beliau itu, para sahabatyang ikut dalam pasukan tersebut berpamitan kepada Nabi SAW, termasuk Umar bin Khaththab. Hari Ahadnya, Usamah menemui Nabi SAW, keadaan sakit beliau makin parah dan sempat pingsan. Setelah siuman, Usamah membungkuk dan mencium beliau sambil matanya berkaca-kaca. Tetapi Nabi SAW hanya mengangkat tangannya, seakan-akan berdoa, kemudian beliau mengusapkannya ke wajah Usamah. Usamah menangkap isyarat tersebut sebagai doa restu untuk keberangkatannya, ia pun berangkat menuju tempat pasukan berkumpul di Jurf, sebuah tempat tidak jauh di luar Madinah, sekitar tiga mil. Senin pagi tanggal 12 Rabi'ul Awwal tahun 11 hijriah, seharusnya ia memberangkatkan pasukannya ke Palestina, tetapi Usamah merasa tidak tenang dengan kondisi Nabi SAW yang ditinggalkannya kemarin. Karena itu ia kembali ke rumah Nabi SAW, dan setibanya disana, beliau tampak sehat, Usamah-pun gembira. Beliau sekali lagi mendoakan Usamah, kemudian bersabda, "Berangkatlah engkau dengan berkat dari Allah…!!" Usamah kembali ke pasukannya di Jurf, ia segera mempersiapkan diri untuk segera berangkat. Tetapi belum sempat bergerak, datang utusan dari ibunya, Ummu Aiman, yang memberi kabar bahwa Nabi SAW telah wafat. Usamah memerintahkan pasukan untuk kembali ke Madinah. Buraidah bin Hushaib, sahabat yang diperintahkan Nabi SAW membawa dan menyerahkan panji ke rumah Usamah, membawanya kembali dan menancapkannya di sebelah rumah beliau. Setelah wafatnya Nabi SAW dan Abu Bakar terpilih jadi khalifah, wacana pasukan yang dipimpin Usamah kembali mengemuka. Sebagian sahabat yang dipimpin Umar bin Khaththab berpendapat bahwa pengiriman pasukan tersebut harus dibatalkan, karena banyak sekali kabilah yang murtad dan bersiap menyusun kekuatan kembali untuk lepas dari pemerintahan Islam di Madinah. Mereka ini khawatir jika kabilah-kabilah tersebut menyerang Madinah. Usamah sendiri berada dalam kelompok ini, karena pendapat tersebut yang paling masuk akal. Tetapi bukan Ash-Shiddiq namanya kalau Abu Bakar hanya menuruti pendapat yang hanya berdasar logika semata, karena itu ia berkeras mengirim pasukan tersebut sesuai perintah Nabi SAW. Setelah gagal mempengaruhi Khalifah baru untuk membatalkan keberangkatan pasukan ke Palestina, muncullah wacana kedua, yakni penggantian pimpinan pasukan karena Usamah hanya seorang pemuda 20 tahunan. Di antara personal pasukan tersebut terdapat sahabat-sahabat utama yang ikut terjun dalam pertempuran bersama Nabi SAW di dalam perang Badar, Uhud dan peperangan lainnya yang cukup terkenal kepahlawanannya, misalnya saja Sa'd bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah bin Jarrah, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, dan lain-lainnya termasuk Umar sendiri, mereka itu yang lebih pantas menjadi komandan. Sekali lagi, tokoh pengusul ini adalah Umar bin Khaththab, dan kali ini reaksi Abu Bakar cukup keras, "Celaka engkau wahai Ibnu Khaththab!! Pantaskah saya memecat seseorang sebagai komandan pasukan (yakni Usamah bin Zaid), padahal Rasulullah SAW sendiri yang telah mengangkatnya??" Dengan reaksi yang begitu keras dan tegas ini, para sahabat tidak ada lagi yang berani mengemukakan pendapat. Abu Bakar yang biasanya mereka kenal lemah lembut dan gampang menangis, tiba-tiba menjadi begitu keras dan tegas. Tetapi sikap seperti itulah yang memang diperlukan di saat kondisi kaum muslimin sedang labil karena wafatnya Rasulullah SAW. Abu Bakar berkata, "Berangkatkanlah pasukan Usamah, sesungguhnya aku tidak perduli jika binatang-binanang buas akan menerkam dan mencabik-cabikku di Madinah karena berangkatnya pasukan tersebut. Sesungguhnya telah turun wahyu kepada Nabi SAW, 'Berangkatkan pasukan Usamah!!', dan aku tidak akan mengubah keputusan beliau. Hanya sajaaku meminta kepada Usamah agar mengijinkan Umar tinggal di Madinah karena aku memerlukan buah pikirannya untuk membantuku di sini. Tetapi jika Usamah tidak mengijinkan aku tidak akan memaksanya lagi…..!!" Tentu saja dengan senang hati Usamah ‘mengijinkan’, atau lebih tepatnya memenuhi permintaan Abu Bakar tersebut agar Umar tetap tinggal di Madinah. Pasukan Usamah kembali bergerak ke arah Jurf, tempat dimana Nabi SAW telah menetapkan untuk berkumpul. Abu Bakar mengiring keberangkatan pasukan dengan berjalan kaki dan menuntun tunggangan Usamah, sedang tunggangan Abu Bakar dituntun oleh Abdurrahman bin Auf. Abu Bakar juga sempat berkata, "Siapapun mereka yang pernah ditunjuk Rasulullah untuk berangkat bersama Usamah, janganlah sampai tertinggal. Demi Allah, tidaklah didatangkan kepadaku orang yang tertinggal tersebut, kecuali aku akan memerintahkan dirinya menyusul Usamah dengan berjalan kaki…..!!!!" Usamah merasa tidak enak dengan Abu Bakar yang berjalan kaki, apalagi menuntun tunggangannya layaknya seorang budak atau penunjuk jalan saja. Ia berkata, "Wahai khalifah Rasulullah, naikilah tungganganmu, atau aku akan turun saja berjalan kaki bersamamu…!!" "Jangan…!!" Kata Abu Bakar, "Tetaplah engkau di tungganganmu, aku ingin kakiku berdebu di jalan Allah, karena menurut Nabi SAW, untuk setiap langkah di jalan Allah itu akan dituliskan tujuhratus kebaikan, dinaikkan tujuhratus derajad, dan akan dihapuskan tujuhratus kesalahan…" Usamah membawa pasukannya menyusuri kabilah demi kabilah, baik yang tetap memeluk Islam, atau yang ragu-ragu dan bersiap-siap untuk murtad. Rombongan besar pasukan Usamah ini ternyata memunculkan logika tersendiri pada mereka sehingga mereka berteguh memeluk Islam. Sebelumnya mereka mengira dengan wafatnya Nabi SAW, Madinah akan menjadi lemah dan tak mampu lagi memerangi musuh-musuhnya. Tetapi melihat besarnya pasukan yang dikirim ke perbatasan Romawi di Abna, Palestina ini, mereka berfikir, pasukan yang mempertahankan Madinah tentunya akan lebih besar lagi. Apalagi, ternyata Abu Bakar juga mengirim beberapa pasukan dari personal yang tertinggal di Madinah untuk memerangi kabilah-kabilah yang murtad dan yang menolak membayar zakat. Kedatangan pasukan Usamah ternyata mengejutkan pasukan Romawi di Palestina yang telah mengeksekusi Farwah bin Amr al Judzami. Mereka sama sekali tidak menyangka kedatangan pasukan sebesar itu setelah wafatnya Nabi SAW. Mereka telah begitu mengenal bagaimana sikap heroik dan semangat tempur pasukan muslim dan tidak mau beresiko menghadapi pasukan muslim pimpinan Usamah. Karena itu mereka memilih melarikan diri dan meninggalkan barang ghanimah yang banyak bagi pasukan Usamah. Kemenangan pasukan Usamah memberikan dukungan psikologis yang positif terhadap kelangsungan Islam ketika Nabi SAW wafat. Mungkin beliau telah menerima isyarat bagaimana suasana masyarakat Islam ketika beliau wafat, dan kekacauan yang akan terjadi. Karena itu, tampak sekali beliau "memaksakan" untuk membentuk dan mengirim pasukan Usamah, walau saat itu keadaan beliau sakit parah. Dan terbukti kemudian nubuwah ini, bahwa perintah beliau memberikan manfaat besar bagi umat Islam di masa kritis pergantian pimpinan pemerintahan Islam ke khalifah Abu Bakar. Karena pengalamannya mendapat celaan Rasulullah SAW, Usamah jadi sangat berhati-hati dalam urusan jiwa manusia. Ketika terjadi pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, ia mengurung diri di rumahnya. Sebenarnya ia mengetahui kalau Ali dalam jalan kebenaran, tetapi ia memilih untuk tidak berpihak kepada keduanya. Ia mengirim surat kepada Ali, yang ia ikut memba'iatnya sebagai khalifah, sebagai berikut, "Demi Allah wahai Amirul Mukminin, seandainya anda meminta saya untuk menemani anda memasuki kandang harimau, saya pasti akan melakukannya. Tetapi sekali-kali saya tidak akan menyentuh kulit seorang muslimdengan ujung pedang saya…." Ketika beberapa sahabat yang memihak Ali juga berusaha untuk mengubah pendiriannya, Usamah berkata tegas, "Saya tidak akan pernah memerangi orang-orang yang mengucapkan La ilaaha illallaah selama-lamanya…!!" Salah satu dari mereka sempat mendebatnya, "Bukankah Allah telah berfirman : Dan perangilah mereka hingga tidak ada lagi fitnah, dan agama seluruhnya adalah milik Allah…!!" Usamah-pun menjawab, "Ayat itu ditujukan untuk memerangi orang-orang musyrik, dan kita telah memerangi mereka hingga fitnah telah lenyap dan agama seluruhnya menjadi milik Allah…!!" Bagaimana tidak, dalam suatu pertempuran melawan kaum musyrik, dimana berlaku hukum "membunuh atau dibunuh (kill or to be kill)", ia telah dicela dengan keras oleh Rasulullah SAW karena membunuh seorang kafir yang membaca "La ilaaha illallaah", yang menurut pemahaman (ijtihad)-nya hanyalah untuk menyelamatkan diri saja. Sangat mungkin terjadi si kafir itu akan balik membunuhnya jika ia melepaskannya saat itu, apalagi pedangnya-pun masih terhunus. Tetapi itupun bukan alasan yang bisa diterima Rasullullah SAW. Bagaimana lagi ia akan mempertanggung-jawabkan kepada Nabi SAW jika ia membunuh seseorang yang jelas-jelas beriman kepada Allah dan Rasul-Nya? Jelas-jelas orang yang beragama Islam dan menjalankan shalat seperti dirinya dan kaum muslimin lainnya? Seorang sahabat lainnya memang pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, atas suatu peristiwa dalam pertempuran, yang lebih kurang sama dengan peristiwa Usamah tersebut. Nabi SAW bersabda, "Kalau itu terjadi, si kafir akan akan memperoleh balasan seperti keadaan engkau sebelum membunuhnya,dan engkau akan memperoleh balasan seperti keadaan si kafir sebelum ia terbunuh…..!!" Maksudnya, orang kafir tersebut, yang membaca ‘Laa ilaaha illallaah’ ketika akan terbunuh akan memperoleh pahala syahid, sedang sang sahabat yang membunuh bisa jatuh dalam kemusyrikan dan kekafiran, kalau ia tidak bertaubat. Usamah terus menyendiri di tengah pergolakan kaum muslimin, dan ia tidak mau terlibat dengan pertentangan mereka. Saat itu terdapat dua kutub kekuatan Islam, Muawiyah yang menjabat sebagai khalifah berkedudukan di Syam, sedang kelompok oposisi, yang merasa keturunan Ali bin Abi Thalib lebih berhak atas jabatan khalifah bermarkas di Kufah, Irak, tetapi tanpa pimpinan (atau khalifah) yang jelas. Di saat itulah, di Tahun 54 hijriah Usamah bin Zaid meninggal dunia.

Farwah Bin Amr

Farwah Bin Amr Al Judzamy Ra Farwah bin Amr al Judzamy RA adalah seorang Arab yang menjadi gubernur di bawah kekuasaan Romawi di Mu'an, sebuah wilayah di Syam. Ia juga menjadi komandan dari pasukan Arab yang tunduk di bawahkekaisaran Romawi. Dalam perang Mu'tah, dimana tiga komandan dari 3.000 pasukan muslimin gugur secara berturutan, Farwah menjadi salah satu komandan dari 200.000 tentara Romawi, khususnya yang berkebangsaan Arab. Walau pasukannya boleh dibilang menang, tetapi timbul kekaguman pada diri Farwah atas kehebatan dan sikap heroik pasukan muslim, yang notabene pasukan Arab seperti dirinya. Mereka mampu lolos dari kehancuran total walaupun hanya berjumlah tiga ribu pejuang. Padahal 200.000 personal pasukan Romawi mengepung mereka dari segala arah. Saat itu yang mengambil alih tampuk pimpinan pasukan muslimin adalah Khalid bin Walid. Setelah beberapa waktu berlalu, Farwah bin Amr menyatakan dirinya masuk Islam dan ia mengirim utusan kepada Nabi SAW di Madinah untuk mengabarkan keislamannya, sambil menghadiahkan seekor baghal berwarna putih kepada beliau. Tetapi keputusannya ini harus dibayar mahal, penguasa Romawi menangkap dan memenjarakannya. Ia diberi dua pilihan, keluar dari Islam atau mati. Walau diberi waktu yang cukup untuk memikirkan pilihannya, ternyata pilihan Islam adalah harga mati bagi Farwah, karena itu penguasa Romawi menyalibnya di dekat mata air Afra' di Palestina, setelah itu mereka memenggal lehernya. Karena kecongkakan dan sikap sewenang-wenang penguasa Romawi tersebut, Nabi SAW menghimpun pasukan besar di bawah pimpinan Usamah bin Zaid untuk mengamankan wilayah perbatasan dan menyerang pasukan Romawi jika mereka melanggar batas dan kehormatan orang-orang muslim. Tetapi pasukan ini sempat tertunda karena Nabi SAW wafat, dan diteruskan oleh khalifah Abu Bakar.

Khansa Binti Amr Ra

Tumadhir binti Amr bin Harits, atau lebih dikenal dengan nama Khansa adalah seorang penyair wanita yang cukup terkenal pada masa jahiliah. Ketika Nabi SAW telah berada di Madinah, bersama beberapa orang kaumnya dari kabilah Bani Sulaim, ia datang menghadap beliau untuk memeluk Islam. Ia mempunyai empat orang anak lelaki yang kesemuanya ikut memeluk Islam, dan berhijrah untuk tinggal bersama Nabi SAW di Madinah. Kemampuan Khansa melantunkan syair cukup dikagumi Rasulullah SAW. Ketika Adi bin Hatim memeluk Islam, ia mengatakan kepada Nabi SAW, bahwa penyair paling ulung adalah Amr al Qais, orang yang paling pemurah adalah Hatim bin Sa’d dan penunggang kuda paling pandai adalah Amr bin Ma’dikarib. Tetapi Nabi SAW bersabda, “Wahai Ibnu Hatim, bukan mereka!! Penyair paling ulung adalah Khansa binti Amr, orang yang paling pemurah adalah Muhammad (Rasulullah SAW), dan orang yang paling pandai menunggang kuda adalah Ali bin Abu Thalib..!” Sungguh penghargaan yang sangat tinggi terhadap Khansa, karena beliau ‘mensejajarkan’ namanya dengan nama beliau sendiri dan Ali bin Abu Thalib. Sejak keislamannya, Khansa tidak hanya bersemangat dalam melantunkan syair, tetapi ia terjun dalam beberapa medanpertempuran, baik ketika bersama Rasulullah SAW ataupun setelah beliau wafat. Dengan syair-syairnya, ia membangkitkan dan membakar semangat para sahabat untuk terus berjuang menegakkan kalimat-kalimat Allah. Terkadang ketika pasukan dilanda kelelahan dan kejenuhan, ia juga melantunkan syair-syairnya sehingga mereka kembali segar dan bersemangat Ketika terjadi perang Qadisiyah pada tahun 16 H, pada masa khalifah Umar bin Khaththab, Khansa memotivasi anak-anaknya untuk turut serta dalam perang tersebut. Keahliannya bersyair digunakannya untuk mempengaruhidan memberikan semangat jihad pada mereka. Diingatkannya tentang kemuliaan berjuang di jalan Allah, keteguhan ayah dan paman-pamannya dalam membela agama Allah. Sampai akhirnya ia berkata, "Jika besok kalian bangun dalam keadaan sehat, berjihadlah kalian dengan penuh keberanian dan dengan mengharap pertolongan Allah. Majulah dengan semangat juang yang tinggi, dan masuklah dalam pertempuran, lawanlah para pemimpin orang-orang kafir itu, insya Allah kalian akan masuk surga dengan penuh kemuliaan dan kehormatan." Ucapan-ucapannya tersebut dirangkaikannya dalam sebuah rangkaian syair yang sangat indah, dan amat membekas di hati putra-putranya sehingga semangat mereka begitu menggelora untuk segera terjun dalam pertempuran tersebut. Keesokan harinya, mereka berempat berjuang dengan perkasa melawan pasukan Persia. Mereka bertempur sambil membaca syair-syair ibunya, sampai akhirnya satu persatu mereka menemui syahidnya. Ketika berita ini disampaikan kepada Khansa, sang ibu yang kehilangan empat putranya tersebut sama sekali tidak bersedih, justru ia bersyukur dan berkata, "Alhamdulillah, Segala Pujian hanya kepada Allah, yang telah memuliakan aku, dengan menjadikan anak-anakku sebagai syuhada’. Semoga dengan syahidnya mereka, dosa-dosaku akan diampuni oleh Allah, dan aku berharap dengan rahmat-Nya, agar bisa dikumpulkan dengan mereka di surga-Nya."Setelah hidup menyendiri, Khansa tetap mengabdikan dirinya membakar semangat kaum muslimin dengan syair-syairnya. Umar sangat menghargai dan selalu memberi santunan kepada Khansa, sebagaimana dahulu Rasulullah SAW melakukannya. Tidak lama setelah Utsman bin Affan menggantikan Umar, Khansa wafat di sebuah perkampungan Badui, yakni pada tahun 24 H.

Si Badui Yang Menghisab Allah SWT

Seorang lelaki Badui telah memeluk Islam, tetapi karena keadaan ekonominya yang terbatas dan tempat tinggalnya yang sangat jauh dari Madinah, ia belum pernah menghadap dan bertemu langsung dengan Nabi SAW. Ia hanya berbai’at memeluk Islam dan belajar tentang peribadatan dari para pemuka kabilahnya yang pernah mendapat pengajaran Nabi SAW. Tetapi dengan segala keterbatasannya itu, ia mampu menjadi seorang mukmin yang sebenarnya, bahkan sangat mencintai Rasulullah SAW. Suatu ketika ia mengikuti rombongan kabilahnya melaksanakan ibadah umrah ke Makkah. Sambil thawaf sendirian, terpisah dari orang-orang lainnya, si badui ini selalu berdzikir berulang-ulang dengan asma Allah, "Ya Kariim, ya Kariim….." Ia memang bukan orang yang cerdas, sehingga tidak mampu menghafal dengan tepat doa atau dzikr yang idealnya dibaca ketika thawaf, sebagaimana diajarkan Nabi SAW. Karena itu ia hanya membaca berulang-ulang asma Allah yang satu itu. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang mengikuti berjalan di belakangnya sambil mengucap juga, “Ya Kariim, ya Kariim!!” Si Badui ini berpindah dan menjauh dari tempat dan orang tersebut sambil meneruskan dzikrnya, karena ia menyangka lelaki yang mengikutinya itu hanya memperolok dirinya. Tetapi kemanapun ia berpindah dan menjauh, lelaki itu tetap mengikutinya dan mengucapkan dzikr yang sama. Akhirnya si Badui berpaling menghadapi lelaki itu dan berkata, "Wahai orang yang berwajah cerah dan berbadan indah, apakah anda memperolok-olokkan aku? Demi Allah, kalau tidak karena wajahmu yang cerah dan badanmu yang indah, tentu aku sudah mengadukan kamu kepada kekasihku…" Lelaki itu berkata, “Siapakah kekasihmu itu?” Si Badui berkata, “Nabiku, Muhammad Rasulullah SAW!!” Lelaki itu tampak tersenyum mendengar penuturannya, kemudian berkata, "Apakah engkau belum mengenal dan bertemu dengan Nabimu itu, wahai saudaraku Badui?" "Belum..!!" Kata si Badui. Lelaki itu berkata lagi, “Bagaimana mungkin engkau mencintainya jika engkau belum mengenalnya? Bagaimana pula dengan keimananmu kepadanya?" Si Badui berkata, "Aku beriman atas kenabiannya walau aku belum pernah melihatnya, aku membenarkan kerasulannya walau aku belum pernah bertemu dengannya…!!" Lagi-lagi lelaki itu tersenyum dan berkata, "Wahai saudaraku orang Badui, aku inilah Nabimu di dunia, dan pemberi syafaat kepadamu di akhirat…!!" Memang, lelaki yang mengikuti si Badui itu tidak lain adalah Rasulullah SAW, yang juga sedang beribadah umrah. Sengaja beliau mengikuti perilaku si Badui karena beliau melihatnya begitu polos dan ‘unik’, menyendiri dari orang-orang lainnya, tetapi tampak jelas begitu khusyu’ menghadap Allah dalam thawafnya itu. Si Badui tersebut memandang Nabi SAW seakan tak percaya, matanya berkaca-kaca. Ia mendekat kepada beliau sambil merendah dan akan mencium tangan beliau. Tetapi Nabi SAW memegang pundaknya dan berkata, "Wahai saudaraku, jangan perlakukan aku sebagaimana orang-orang asing memperlakukan raja-rajanya, karena sesungguhnya Allah mengutusku bukan sebagai orang yang sombong dan sewenang-wenang. Dia mengutusku dengan kebenaran, sebagai pemberi kabar gembira (yakni akan kenikmatan di surga) dan pemberi peringatan (akan pedihnya siksa api neraka) …" Si Badui masih berdiri termangu, tetapi jelas tampak kegembiraan di matanya karena bertemu dengan Nabi SAW. Tiba-tiba Malaikat Jibril turun kepada Nabi SAW, menyampaikan salam dan penghormatan dari Allah SWT kepada beliau, dan Allah memerintahkan beliau menyampaikan beberapa kalimat kepada orang Badui tersebut, yakni : "Hai Badui, sesungguhnya Kelembutan dan Kemuliaan Allah (yakni makna asma Allah : Al Karim) bisa memperdayakan, dan Allah akan menghisab (memperhitungkan)-nya dalam segala hal, yang sedikit ataupun yang banyak, yang besar ataupun yang kecil….." Nabi SAW menyampaikan kalimat dari Allah tersebut kepada si Badui, dan si Badui berkata, "Apakah Allah akan menghisabku, ya Rasulullah??" "Benar, Dia akan menghisabmu jika Dia menghendaki…" Kata Nabi SAW. Tiba-tiba si Badui mengucapkan sesuatu yang tidak disangka-sangka, "Demi Kebesaran dan Keagungan-Nya, jika Dia menghisabku, aku juga akan menghisab-Nya….!!" Sekali lagi Nabi SAW tersenyum mendengar pernyataan si badui, dan bersabda, "Dalam hal apa engkau akan menghisab Tuhanmu, wahai saudaraku Badui?" Si Badui berkata, "Jika Tuhanku menghisabku atas dosaku, aku akan menghisab-Nya dengan maghfirah-Nya, jika Dia menghisabku atas kemaksiatanku, aku akan menghisab-Nya dengan Afwan (pemaafan)-Nya, dan jika Dia menghisabku atas kekikiranku, aku akan menghisab-Nya dengan kedermawanan-Nya…." Nabi SAW sangat terharu dengan jawaban si Badui itu sampai memangis meneteskan air mata yang membasahi jenggot beliau. Jawaban sederhana, tetapi mencerminkan betapa "akrabnya" si Badui tersebut dengan Tuhannya, betapa tinggi tingkat ma’rifatnya kepada Allah, padahal dia belum pernah mendapat didikan langsung dari Nabi SAW. Sekali lagi Malaikat Jibril AS turun kepada Nabi SAW dan berkata, "Wahai Muhammad, Tuhanmu, Allah As Salam mengirim salam kepadamu dan berfirman : Kurangilah tangismu, karena hal itu melalaikan malaikat-malaikat pemikul Arsy menjadi lalai dalam tasbihnya. Katakan kepada saudaramu, si Badui, ia tidak usah menghisab Kami dan Kami tidak akan menghisab dirinya, karena ia adalah (salah satu) pendampingmu kelak di surga….!!!"

Hisyam Bin Hakim Bin Hizam Ra

 Hisyam bin Hakim bin Hizam adalah sahabat Nabi SAW, putra dari seorang sahabat juga. Ayahnya, Hakim bin Hizam pernah mendapat ‘amalan’ khusus dari Rasulullah SAW, yakni agar ia bersikap qana’ah (merasa cukup dengan rezeki dari Allah) dan tidak meminta-minta. Maka ketika Islam mengalami kejayaan dan harta melimpah ruah memenuhi baitul mal pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, ia menolak pembagian harta yang menjadi haknya, dan memilih tetap hidup sederhana dan qana’ah sebagaimana diwasiatkan Rasulullah SAW. Beberapa tahun berselang setelah Nabi SAW wafat, Hisyam bin Hakim sedang berjalan-jalan di Syam, dan ia melihat beberapa orang petani sedang dijemur di terik matahari dan dituangkan minyak di atas kepala mereka. Melihat tindakan penguasa muslim terhadap penduduknya seperti itu, Hisyam menanyakan permasalahannya, dan seseorang berkata, "Mereka disiksa seperti itu karena tidak membayar pajak….!!" Mendengar penjelasan itu, spontan Hisyam berkata dengan nada tinggi, "Saya bersaksi bahwa saya benar-benar mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di dunia….!!" Setelah itu Hisyam mendatangi kediaman gubernur Syam. Ia mengkritisi ‘kebijakan’ sang gubernur tersebut, dan menyampaikan ‘ancaman’ Rasulullah SAW. Ia memerintahkan agar para petani tersebut dilepaskan dari siksaannya, dan ternyata sang gubernur mematuhi saran yang disampaikanoleh Hisyam.

Seorang Yang Menginginkan Berjihad

Seorang lelaki datang kepada Nabi SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah, saya telah memeluk Islam, dan saya berba'iat kepada tuan untuk berhijrah dan berjihad, semata-mata untuk mengharapkan pahala dari Allah Ta'ala…!!" Nabi SAW yang memang mempunyai pandangan tembus yang tidak terhalang hijab, tentu saja semua berkat pemberitahuan dan bimbingan wahyu yang disampaikan oleh Jibril AS, seketika tersenyum melihat semangat lelaki tersebut dan berkata, "Apakah masih ada salah satu dari orang tuamu yang masih hidup?" "Masih, ya Rasulullah, bahkan kedua-duanya masih hidup!!" Kata lelaki tersebut. "Kamu ingin memperoleh pahala yang besar dari Allah?" Kata Nabi SAW, tanpa ingin mematahkan semangat lelaki tersebut yang menyala-nyala. "Benar, Ya Rasulullah..!!" "Kembalilah kamu kepada kedua orang tuamu," Kata Nabi SAW, "Layanilah mereka sebaik-baiknya, pada mereka sajalah kamu berjihad…!!" Inilah memang sikap bijaksana Nabi SAW. Dalam pandangan beliau, lelaki itu akan lebih bermanfaat jika tetap menjaga dan merawat kedua orang tuanya, daripada harus terjun di medanpertempuran. Tetapi secara umum, jika ada seorang muslim yang ingin bergabung dalam pasukan yang terjun ke medanjihad, beliau lebih sering menerimanya, bahkan mendoakan mereka dengan kebaikan. Kasus ini hampir sama dengan yang terjadi pada Uwais al Qarany, seorang Tabi'in yang sebenarnya hidup sezaman dengan Nabi SAW, tetapi "tidak sempat" mengunjungi dan bertemu dengan Nabi SAW. Sebenarnyalah ia meminta ijin kepada ibunya untuk mengunjungi dan berba'iat kepada Nabi SAW di Madinah, tetapi ibunya mencegah kepergiannya dan ia patuh. Memang, ibunya tersebut telah tua dan sakit-sakitan, tidak bisa beraktivitas apapun kecuali dengan bantuan Uwais. Tidak ada orang lain yang bisa diandalkan untuk membantunya kecuali anak satu-satunya tersebut. Kalau Uwais harus meninggalkan daerah Qaran di Yaman menuju Madinah, padahal akan makan waktu berhari-hari atau bahkan berbilang bulan, bagaimana keadaan ibunya tersebut. Terpaksalah Uwais harus memendam kerinduannya bertemu Nabi SAW demi patuh kepada ibunya. Dan pena takdir menentukan ia tidak bisa bertemu langsung dengan Nabi SAW, ia baru bisa ikut haji ke Makkah setelah ibunya wafat, yakni ketika masa khalifah Umar bin Khaththab. Namun bertahun-tahun sebelumnya, Nabi SAW memuji sikap Uwais al Qarany ini, beliau bersabda, "Penghulu (sayyid) para Tabi'in adalah Uwais al Qarany…!!" Beliau juga mewasiatkan kepada Umar dan Ali bin Abi Thalib untuk menemui Uwais, dan memintakan doa ampunan untuk mereka. Dalam riwayat lain, memintakan doa ampunan untuk ummat Nabi SAW keseluruhannya. Lihat juga pujian Nabi SAW atas Uwais dalam kisah "Seorang Raja di Surga", di bagian sebelumnya dari buku ini.

Thoriq Ash Sholidalani Dan Syihab R.huma

Thoriq Ash Sholidalani Dan Syihab R.huma Pada awal dakwahnya di Makkah, Nabi SAW memang mendapat perlawanan yang tidak tanggung-tanggung. Suatu ketika kaum musyrik bermusyawarah di rumah Abu Jahal untuk menyikapi dakwah Nabi SAW. Masuklah Thoriq ash Sholidalani ke rumah Abu Jahal dan berkata, "Jika kalian ingin membunuh Muhammad, itu sangat mudah asal kalian setuju dengan kata-kataku..!!" "Bagaimana caranya Thoriq?" Tanya mereka. "Ketika Muhammad sedang duduk bersandar di dinding Ka'bah, salah satu dari kalian naik ke atas Ka'bah dan meluncurkan batu besar ke tempat duduknya, pasti ia akan mati seketika..!!"

Kata Thoriq. Usul tersebut sepertinya mendapat respon positif, dan salah seorang dari mereka, yakni Syihab berkata, "Jika diijinkan, biarkanlah aku yang meluncurkan batu dari atas kata Ka'bah…!!"

Para pemuka Quraisy itupun menyetujui rencana tersebut. Suatu ketika Nabi SAW duduk bersandar di dinding Ka' bah seperti biasanya. Sekelompok kaum Quraisy yang telah menunggu kesempatan itu segera melaksanakan rencananya. Syihab menaiki Ka'bah pada sisi yang lain dengan membawa batu besar yang telah disiapkannya. Thoriq ash-Sholidalani dan beberapa pemuka Quraisy mengamati dari kejauhan. Setelah berada tepat di atas Nabi SAW, Syihab meluncurkan batu besar yang dibawanya ke arah kepala Nabi SAW. Tetapi tiba-tiba saja dinding Ka'bah bergeser atau merekah dan muncul batu lain dari dinding tersebut yang membelokkan arah jatuhnya batu besar yang dijatuhkan Syihab. Batu tersebut jatuh di pelataran Ka'bah, agak jauh dari tempat Nabi SAW bersandar sehingga beliau selamat. Setelah itu dinding Ka'bah merapat kembali seperti semula. Syihab mengucak matanya seolah tak percaya melihat peristiwa yang menakjubkan tersebut, kemudian segera turun menghampiri Nabi SAW dan mengucapkan syahadat memeluk Islam. Thoriq ash Sholidalani yang juga terperanjat melihat peristiwa tersebut, dengan segera menghampiri beliau danmenyusul Syihab memeluk Islam.

Ghassan Bin Malik Al Amiri Ra

Ghassan bin Malik al Amiri tinggal cukup jauh dari Kota Makkah. Kabilahnya memiliki kebiasaan memberikan persembahan atau kurban di depan berhalanya pada bulan Rajab. Pada suatu bulan Rajab ketika Nabi SAW telah mulai mendakwahkan Islam, seorang lelaki bernama Isham datang ke berhala tersebut dan bersiap menyembelih kurban persembahannya. Ketika tangannya mengangkat pedang untuk menyembelih, tiba-tiba munculsuara dari lobang berhala, "Wahai Isham, telah datang Islam, berhala tak lagi berguna, darah akan terlindungi dan kekerabatan akan tersambung, kebenaran akan segera tampak….Wassalam..!!" Memang, sebelumnya telah santer tersiar kabar, khususnya dari para pendeta Yahudi dan Nashrani, bahwa akan segera muncul seorang Nabi dan Rasul akhir zaman. Berita yang sebenarnya menjadi harapan dan kebanggaan bagi ahli kitab tersebut, juga menimbulkan harapan bagi penduduk jazirah Arabia yang sebenarnya kaum pagan penyembah berhala. Kaum ahli kitab ini merasa derajadnya lebih tinggi dari penduduk Arab karena mereka merasa memiliki keterkaitan dengan wahyu, dengan kitab suci yang mereka jadikan pegangan bagi agama mereka. Sejenak Isham tertegun, kemudian ia membatalkan persembahannya sambil berteriak gembira kepada kaumnya bahwa Rasul yang dinanti-nantikan tersebut telah datang. Ghassan yang sebenarnya "pemilik dan pengelola" berhala tersebut, ikut gembira dengan kabar tersebut, tetapi itu belum menguatkannya karena ia tidak melihat sendiri peristiwa yang dialami Isham. Beberapa hari kemudian, masih di bulan Rajab yang sama, seseorang bernama Thariq datang untuk melakukan persembahan. Sama seperti Isham, ketika tangannya siap menyembelih kurban di depan berhala tersebut, muncul suatu suara dari lobang berhala itu, "Wahai Thariq, telah diutus Nabi yang jujur, ia datang membawa wahyu dari Allah Yang Maha Perkasa…!!" Sama seperti Isham, Thariq membatalkan kurbannya dan berlari keluar dari tempat berhala tersebut sambil berteriak gembira, mengabarkan kehadiran Nabi dan Rasul akhir zaman. Peristiwa Thariq tersebut makin menguatkan kabar yang disampaikan oleh Isham sebelumnya, dan Nabi SAW makin jadi pembicaraan di daerah yang jauh dari Makkah ini. Hanya sajakalau di Makkah beliau banyak menerima penolakan, di sini beliau menjadi idola, harapan dan penerimaan. Tiga hari setelah peristiwa Thariq, Ghazzan bin Malik yang merupakan salah satu pemuka kabilahnya, berniat melakukan kurban di depan berhalanya. Peristiwa Isham dan Thariq berulang, bahkan suara tersebut lebih tegas dan lantang keluar dari lobang berhala, "Wahai Ghazzan bin Malik, telah datang kebenaran dari seorang Nabi dari Bani Hasyim di Tihamah. Keselamatan bagi yang mendukungnya, penyesalan bagi yang mencelanya. Dia memberi petunjuk dan mengajak kepada kebaikan hingga hari kiamat….!!" Setelah itu, berhala tersebut terangkat dan roboh tengkurap di depan Ghazzan. Tidak ada alasan lagi bagiGhazzan untuk tidak percaya akan hadirnya seorang Rasul, apalagi kali ini jelas ditunjukkan kabilah dan tempatnya ia dibangkitkan. Dengan tekad bulat, sekaligus dukungan dari kaumnya, ia akan menemui Nabi baru dari Bani Hasyim yang berada di daerah perbukitan Tihamah tersebut. Ganasnya padang pasir yang membentang antara tempat tinggalnya dengan Tihamah dimana Makkah berada, tidaklah menyurutkan langkahnya. Saat itu masih masa permulaan dakwah Islam, Nabi SAW sedang duduk bersama beberapa orang sahabat, termasuk Ali bin Abi Thalib yang meriwayatkan kisah ini. Seorang penunggang unta yang tampak letih dan berdebu, pertanda ia telah melakukan perjalanan jauh di padang pasir, mendatangi kumpulan sahabat dan bertanya, "Manakah yang namanya Muhammad?" Mereka menunjukan tempat Nabi SAW, dan lelaki tersebut, yang tak lain adalah Ghassan bin Malik al Amiri, berkata kepada beliau, "Maukah engkau menjelaskan semua perintah Tuhanmu, atau aku yang akan menceritakan perintah-perintah berhalaku…." Maksud Ghassan adalah "perintah" berhala ketika membatalkan persembahan kurban dari Isham, Thariq dan dirinya sendiri. Nabi SAW tersenyum mendengar perkataan Ghassan, dan bersabda, "Biarlah aku saja yang menjelaskan perintah-perintah Tuhanku…." Mulailah Nabi SAW menjelaskan panjang lebar risalah Islam yang beliau emban untuk seluruh umat manusia. Setelah cukup lama mendengarkan dengan khidmat penjelasan beliau, ia berkata, "Saya adalah Ghassan bin Malik al Amiri, saya mempunyai berhala, setiap bulan Rajab saya dan kaum saya melakukan persembahan kepadanya…." Kemudian Ghassan menceritakan dengan terperinci peristiwa yang terjadi dengan berhalanya akhir-akhir ini, pengalaman Isham, Thariq atau juga pengalamannya sendiri, sehingga berhala itu roboh dengan sendirinya. Setelah Ghassan selesai menceritakan kisahnya, Nabi SAW bertakbir, para sahabat ikut bertakbir pula. Ghassan mengucap syahadat untuk memeluk Islam, kemudian ia meminta ijin Nabi SAW untuk melantunkan syair, dan beliau mengijinkannya. Ghassan melantunkan syairnya, "Kupacu langkah untuk sebuah pencarian, dengan gundah gulana, di dalam negeri yang berpasir, hanya untuk mendukung manusia pemimpin, kuikat sebuah tali, talimu dalam taliku, aku ikrarkan, Allah Tuhan Yang Maha Benar, Yang Esa, inilah agamaku, terompahku bersama langkahku…"

Zainab Ats Tsaqafiyah Ra

Zainab Ats Tsaqafiyah RA adalah seorang wanita bangsawan yang kaya-raya, yang berasal dari kabilah Bani Tsaqif di Thaif. Ia menikah denganAbdullah bin Mas'ud, seorang sahabat Nabi SAW yang tadinya hanyalah seorang buruh penggembala kambing, tetapi Islam telah memuliakannya dengan kemampuannya di dalam Al Qur'an, bahkan Nabi SAW memuji bacaannya, tepat seperti ketika Al Qur'an diturunkan. Tentu saja Ibnu Mas’ud hanyalah dari kalangan biasa dan miskin, bahkan kondisi fisiknya ada kekurangan (cacat). Walau dengan ‘derajad’ duniawiah yang begitu jauh berbeda, Zainab bersedia dinikahi Ibnu Mas’ud, karena ia menyadari kekayaan dan kebangsawanannya belum tentu bisa menjamin keselamatannya di akhirat kelak. Tetapi dengan menjadi istri dan pendamping seorang sahabat yang begitu dimuliakan Rasulullah SAW, ia yakin akan memperoleh ‘freepass’ masuk surga, asal dengan ikhlas mengabdi pada suaminya tersebut. Suatu ketika Zainab mendengar Nabi SAW bersabda, "Wahai kaum wanita, bersedekahlah kamu sekalian, walaupun harus dengan perhiasanmu…!!" Ketika tiba di rumah dan bertemu dengan suaminya, Abdullah bin Mas'ud, ia menceritakan sabda Nabi SAW tersebut dan berkata, "Sesungguhnya engkau adalah orang yang tidak mampu, tolong datang dan tanyakan kepada Nabi SAW, apa boleh aku bersedekah kepadamu, jika tidak boleh, aku akan memberikannya kepada orang lain…!!" Tetapi Ibnu Mas'ud merasa tidak enak dan malu menanyakan hal tersebut kepada Nabi SAW, karena ia dalam posisi berhak tidaknya menerima sedekah dari istrinya sendiri. Apalagi ia mempunyai kedekatan khusus dengan beliau. Karena itu ia berkata kepada istrinya, "Kamu sendiri saja yang datang kepada beliau dan menanyakannya…!!" Dengan perintah atau ijin suaminya tersebut, Zainab datang ke rumah Nabi SAW, ternyata di sana telah ada seorang wanita Anshar menunggu Nabi SAW hadir/datang untuk menanyakan hal yang sama dengan dirinya. Seperti telah memperoleh isyarat, Nabi SAW memerintahkan Bilal keluar menemui dua wanita tersebut, dan Zainab berkata, "Wahai Bilal, sampaikan kepada Rasulullah SAW, dua orang wanita menanyakan kepada kepada beliau, apa boleh kami memberikan shadaqah kami kepada suami dan anak-anak yatim yang kami asuh? Tetapi, tolong jangan dijelaskan siapa kami!!" Bilal masuk kembali menemui beliau dan menyampaikan pertanyaan mereka berdua. Tetapi Nabi SAW justru menanyakan identitas mereka berdua sehingga Bilal tidak mungkin menyembunyikannya, ia berkata, "Seorang wanita Anshar dan Zainab, ya Rasulullah!!" "Zainab yang mana?" Tanya Nabi SAW. "Istri Abdullah bin Mas'ud…!!" Nabi SAW bersabda, "Jika itu yang dilakukannya, kedua wanita tersebut akan mendapat dua macam pahala, pahala membantu kerabatnya, dan pahala shadaqah….!!" Bilal menyampaikan jawaban Nabi SAW, dan tentu saja Zainab beserta wanita Anshar tersebut sangat gembira. "Ijtihad" mereka tentang shadaqah ternyata dibenarkan beliau, bahkan memperoleh pahala berlipat.

Abu Sufyan Bin Harits Ra

Abu Sufyan bin Harits masih saudara sepupu Nabi SAW, ayahnya Harits bin Abdul Muthalib adalah saudara kandung ayah beliau, Abdullah bin Abdul Muthalib. Ia juga saudara sesusu Nabi SAW karena pernah disusui oleh Khalimah as Sa'diyah selama beberapa hari. Sebagian besar masa hidupnya sejak Nabi SAW mengemban risalah Islam, justru dihabiskanuntuk menentang dan menghalangi dakwah beliau. Dengan kemampuannya menggubah dan merangkai syair, ia menjatuhkan dan menjelek-jelekkan Nabi SAW. Dalam berbagai pertempuran-pun ia berdiri teguh di fihak yang melawan pasukan muslim.

Sebenarnyalah ia telah melihat tanda-tanda kebenaran Nabi SAW dalam perang Badar, tetapi Allah SWT belum berkenan memberikan hidayah keimanan kepadanya. Dalam pertempuran Badar tersebut, kekuatan pasukan musyrik tiga kali lipat banyaknya, tetapi Abu Sufyan bin Harits melihat pemandangan menakjubkan yang tidak masuk akal. Pasukan berjubah putih dengan kuda-kuda yang perkasa berseliweran antara langit dan bumi, tetapi sama sekali tidak meninggalkan jejak dan menginjak bumi. Wajahnya tampak cemerlang dengan dahi-dahi yang lebar.

Mereka ini, yang tidak lain adalah para malaikat yang diperintahkan Allah membantu pasukan muslim, menyerang dan mematahkan serangan kaum musyrikin tanpa diketahui oleh pasukan muslim sendiri. Banyak peristiwa terjadi, ketika seorang muslim belum lagi menyerang, baru berhadapan saja tiba-tiba saja kepala musuhnya terkulai dan mati, atau tangannya terpotong, atau datang kepada seorang muslim dalam keadaan tertawan begitu saja seperti yang terjadi atas Abbas bin Abdul Muthalib. Peristiwa yang tidak terlihat oleh pasukan muslim atau pasukan musyrikin ini ternyata ditampakkan Allah kepada Ibnu Harits, tetapi tidak disertai hidayah-Nya.

Begitulah, bukti kebenaran itu begitu nyata dilihatnya, tetapi Abu Sufyan bin Harits tetap menjadi tulang punggung kaum Quraisy dan sekutu musyriknya dalam memerangi dan menghalangi dakwah Nabi SAW, baik dengan syair-syairnya, atau dengan pedang yang dihunusnya dalam berbagai peperangan. Bahkan ketika saudara-saudaranya, Naufal, Rabi'ah dan Abdullah bin Harits memeluk Islam, ia tetap saja kokoh dengan pendiriannya. Tak heran jika Nabi SAW sempat menolak menemuinya ketika ia berniat memeluk Islam menjelang terjadinya Fathul Makkah.

Setelah dua puluh tahun berlalu hidayah Allah datang juga menyapanya. Pada saat yang hampir bersamaan ketika Nabi SAW menggerakkan pasukan menuju Makkah, ia juga menggerakkan kakinya menuju Madinah untuk berba'iat memeluk Islam, tetapi ia tidak tahu rencana Nabi SAW tersebut. Ia berangkat bersama anaknya yang masihkecil, Ja'far dan saudara sepupunya yang juga berniat memeluk Islam, Abdullah bin Abu Umayyah. Ibnu Abi Umayyah ini adalah saudara dari Ummu Salamah, salah satu istri Nabi SAW, dan seorang tokoh Quraisy yang juga sangat gencar melakukan perlawanan dan penentangan atas kenabian Nabi Muhammad SAW, sehingga peristiwanya diabadikan dalam Al Qur'an Surah al Isra ayat 90-93.

Ketika tiba di Abwa, Abu Sufyan dan rombongan kecilnya bertemu dengan pasukan besar kaum muslimin yang sedang beristirahat di tempat itu. Ada kegentaran dalam dirinya, dengan reputasinya selama ini dalam memusuhi Islam, bisa jadi Nabi SAWtelah menghalalkan darahnya. Tetapi tekadnya telah bulat, apapun resikonya ia akan menghadapinya. Ia menghampiri perkemahan muslim tersebut dan minta ijin untuk menghadap Nabi SAW, tetapi ternyata beliau menolak untuk menemui mereka. Ibnu Harits amat sedih menerima kenyataan tersebut, ia berniat untuk mengasingkan diri bersama anaknya dan akan membiarkan diri tanpa makan dan minum sampai mati kelaparan, jika memang tidak bisabertemu dan berikrar dalam keislaman kepada Nabi SAW.

Istri Nabi SAW yang menyertai beliau dalam perjalanan tersebut adalah Ummu Salamah. Ia melihat keadaan ketiga orang tersebut sangat payah dan hampir putus asa, apalagi keadaan si kecil, Ja’far bin Abu Sufyan. Karena itu ia berkata kepada Nabi SAW, "Wahai Rasulullah, jangan engkau biarkan anak paman engkau dan anak bibi engkau menjadi orang yang paling menderita karena engkau….!!"

Tetapi saran Ummu Salamah ini belum cukup meluluhkan hati beliau. Tentulah Nabi SAW yang paling merasakan bagaimana sikap dan perlakuan mereka berdua ketika beliau masih berdakwah di Makkah, sehingga tidaklah mudah melupakannya begitu saja. Ali bin Abi Thalib menghampiri Abu Sufyan bin Harits, ia memberikan saran untuk mendekati Nabi SAW secara sembunyi-sembunyi, dan hadir di depan beliau dengan mengucap syahadat sebagai bukti keislamannya, dan berkata seperti perkataan saudara-saudara Yusuf kepada Yusuf, "Demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan kamu atas kami, dan sesungguhnya kami adalah orang- orang yang bersalah (berdosa) ….!!"

Perkataan tersebut terdapat pada QS Yusuf ayat 91. Ali bin Abi Thalib sebagai putra didikan wahyu, didikan Rasulullah SAW sejak usia kanak-kanaknya, tentulah sangat mengenal bagaimana "meluluhkan" hati beliau. Dan ketika saran ini dilaksanakan oleh Ibnu Harits dan Ibnu Abi Umayyah, Nabi SAW mengerling sekilas pada Ali, kemudian dengan gembira menyambut keislaman keduanya, dan beliau bersabda seperti ucapan Nabi Yusuf AS (QS Yusuf ayat 92), "Pada hari ini tidak ada celaan terhadap kalian, mudah-mudahan Allah merngampuni dosa-dosa kalian, dan sesungguhnya Dia Maha Penyayang di antara para penyayang…!!"

Abu Sufyan sangat gembira dengan ucapan Nabi SAW, secara spontan ia menggubah syair untuk memuji keluhuran akhlak beliau, sekaligus mengungkapkan penyesalannya atas jalan salah yang telah dilaluinya selama hampir duapuluh tahun tersebut. Nabi SAW amat gembira dengan gubahan syair tersebut, sambil tersenyum dan menepuk lembut dada Abu Sufyan, beliau bersabda, "Dahulu engkau mengusirku dengan gigih…!!"

Nabi SAW memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk mengajarkan Abu Sufyan cara wudhu, shalat dan berbagai cara peribadatan lainnya, sehingga akhirnya ia menjadi seorang muslim yang baik. Sejak saat itu Abu Sufyan tidak berani menatap wajah Rasulullah SAW berlama-lama karena rasa malu. Ia lebih banyak menundukkan mukanya. Namun demikian Nabi SAW sangat mencintainya dan memberikan kesaksian bahwa ia akan masuk surga. Beliau sering berkata tentang dirinya, "Aku sangat berharap dia akan menyusul Hamzah….!!"

Dalam Perang Hunain yang terjadi tidak lama setelah terjadinya Fathul Makkah, pasukan muslim sempat kocar-kacir pada awalnya, bahkan jiwa Rasulullah SAW terancam bahaya. Akhirnya beliau berhasil menghimpun kekuatan kembali dengan orang-orang Anshar sebagai pilar utamanya, dan memukul balik pasukan musuh sehingga memperolehkemenangan yang gemilang. Dalam proses yang begitu panjang, dari kekalahan sehingga berbalik menjadi kemenangan, kendali tunggangan Rasulullah SAW dipegang dan dikontrol dengan baiknya sehingga beliau sukses memberikan komando yang menentukan kemenangan tersebut. Hanya anehnya, lelaki pemegang kendali tersebut tidak pernah menampakkan wajah dan tatapannya kepada beliau.Ketika suasana telah tenang dan pasukan musuh telah terusir pergi, Nabi SAW berusaha mengenali siapa lelaki misterius tersebut. Dan setelah menatap berlama-lama, beliau berkata, "Siapa ini? Oh, saudaraku, Abu Sufyan bin Harits….."

Sangat pendek ucapan beliau, tetapi kata "saudaraku" yang diucapkan Nabi SAW laksana air sejuk yang disiramkan ke dalam hatinya kala kegersangan melanda. Masih jelas terbayang semua sikap permusuhan yang dilakukannya kepada beliau selama duapuluh tahun, masih juga lekat dalam ingatan, penolakan beliau untuk menemuinya ketika di Abwa. Tetapi tiba-tiba saja beliau menyebutnya sebagai "saudaraku", kegembiraan dan kebahagiaan yang menyebabkan air matanya mengalir dengan deras karena rasa haru yang tak tertahankan. Ia mencium dan meratapi kedua kaki Rasulullah SAW, bahkan ia mencucinya dengan air matanya.

Abu Sufyan bin Harits menghabiskan sisa waktu bersama Rasulullah SAW dengan ibadah demi ibadah, seolah ingin menebus ketertinggalannya selama duapuluh tahun. Dan ketika Nabi SAW wafat terlebih dahulu, ruhnya seolah memberontak untuk segera keluar menyusul kesayangan dan kekasihnya tersebut. Suatu ketika ia menggali lubang kuburan di Baqi, padahal saat itu tidak ada seorangpun yang meninggal, mereka yang merasa aneh dengan apa yang dilakukannya menanyakan aktivitasnya tersebut, Abu Sufyan berkata, "Aku sedang menyiapkan kuburku…..!!"

Tiga hari kemudian ia terbaring sakit dan makin lemah sehingga orang-orang menangisinya. Tetapi tampak sekali kepuasan dan ketentraman di hatinya yang tampil di wajahnya. Ia berkata, "Janganlah kalian menangisiku!! Sesungguhnya sejak memeluk Islam, tidak sedikitpun aku berlumuran dosa..!!"
Tak lama kemudian wajahnya terkulai dan ruhnya melayang menyusul kekasih yang dirindukannya, Nabi Muhammad SAW.Orang-orangpun memakamkannya pada liang lahad yang telah dipersiapkannya sendiri.

Amir Bin Akwa Ra

Amir bin Amr bin al Akwa, adalah saudara dari Salamah bin Akwa, seorang remaja yang Rasulullah SAW menggelarinya sebagai Pasukan Pejalan Kaki Terbaik. Karena itu Amir pun lebih dikenali dengan nama Amir bin Akwa. Ketika terjun dalam perang Khaibar, dua bersaudara al Akwa dari bani Aslam ini bahu membahu memerangi kaum Yahudi. Amir bin Akwa menyenandungkan suatu syair untuk membangkitkan semangat, "Kalau tidak karena engkau(wahai Muhammad), tidaklah kami mendapat hidayah, tidak shalat dan berzakat, Kami dicukupkan dengan kelebihan engkau, maka turunkanlah atas kami ketenangan, Dan teguhkanlah kaki-kaki kami menghadapi musuh dalam peperangan ini…!!"

Nabi SAW diberitahu para sahabat tentang syair yang disenandungkan tersebut. Beliau menanyakan siapa penyenandungnya.

"Amir bin Akwa…!!" Kata para sahabat.
"Semoga Allah akan mengampuni Amir!!" Kata Rasulullah SAW, suatu pertanda beliau senang dengan apa yang dilakukannya.

Tetapi para sahabat-pun menangkap pertanda pula. Jika beliau mengkhususkan doa pada seseorang dalam suatu pertempuran, pastilah ia akan menemui syahid. Amir memahami pula hal ini, dan ia menjadi sangat gembira dan bersemangat menggempur musuh.

Ketika pertempuran berkecamuk dengan sengitnya, muncullah Marhab, seorang pahlawan Yahudi yang sudah sangat dikenal di daerah Khaibar dan sekitarnya akan keberanian dan kepiawaiannya dalam adu senjata. Ia menantang duel sambil menyombongkan nama besarnya.Tanpa banyak pertimbangan, Amir meloncat ke hadapan Marhab sambil mengucapkan perkataan untuk mengimbangi kesombongan Marhab, "Penduduk Khaibar tahu, akulah Amir, pahlawan perang yang perkasa, menyerbu musuh seorang diri tanpa takut apa-apa…!!"

Dua orang yang inipun bertempur dengan serunya, tampaknya kekuatan mereka berimbang. Pada suatu kesempatan, posisi Amir di atas angin dan sangat menguntungkan, ia siap memberikan pukulan terakhir dengan pedangnya untuk menghabisi perlawanan musuhnya. Tetapi tanpa disadarinya,hulu pedangnya melentur dan ujung pedangnya berbalik mengenai ubun-ubun kepalanya sendiri hingga ia tewas seketika. Pasukan muslim yang melihat peristiwa tersebut spontan berkata, "Kasihan Amir, ia terhalang memperoleh mati syahid…!!"

Salamah bin Akwa yang berada tak jauh dari tempat saudaranya itupun merasa kecewa dan menyesal atas kejadian yang menimpa Amir. Ia beranggapan seperti kebanyakan sahabat lainnya, bahwa Amir mati karena bunuh diri, walau itu dilakukan tanpa sengaja. Tentulah ia kehilangan pahala berjihad dan kematian sebagai syahid.

Ketika perang pada hari itu usai, Salamah menceritakan peristiwa yang menimpa Amir kepada Nabi SAW sambil menangis, dan ia bertanya, "Wahai Rasulullah, benarkah pahala Amir gugur karena kematiannya tersebut?"

Rasulullah SAW dengan arif memberikan jawaban yang menentramkan, "Ia gugur sebagai pejuang (yakni mati syahid), bahkan ia memperolah dua macam pahala. Dan sekarang ini ia sedang berenang di sungai-sungai surga…!!!" Hati Salamah menjadi senang dengan penjelasan Nabi SAW, bahkan ‘pandangan tembus’ beliau atas saudaranya yang telah syahid tersebut meningkatkan semangatnya untuk terus berjuang membela panji-panji agama Allah.

Qabishah Bin Mukhariq Ra

Qabishah bin Mukhariq, atau dikenal dengan nama kunyahnya Abu Bisyr, adalah seorang sahabat yang hidupnya dalam kekurangan, sementara anggota keluarganya cukup banyak. Suatu ketika ia merasakan beban yang ditanggungnya begitu berat sehingga ia tak mampu memenuhi kebutuhan keluarganya, yang sebenarnya tidak begitu banyak. Karena itu ia datang kepada Nabi SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah, kami mohon bantuan untuk meringankan beban kehidupan kami…!!"

Karena saat itu Nabi SAW sedang tidak memiliki apapun untuk diberikan, beliau berkata, "Tunggulah sampai ada zakat datang kesini, nanti akan kami suruh si Amil untuk memberikan bagian kepadamu…!!"

Setelah mengucapkan terima kasih dan pamit, Abu Bisyr melangkah untuk pulang. Tetapi baru beberapa langkah, Nabi SAW memanggilnya kembali. Abu Bisyr kembali menghadap Nabi SAW dan beliau bersabda, "Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak diperbolehkan kecuali karena tiga alasan…."

Kemudian Rasulullah SAW menjelaskan dengan terinci siapa saja yang dibolehkan meminta-minta, dan batasan- batasannya, yakni :

1. Seseorang yang menanggung beban kehidupan sangat berat, ia boleh meminta-minta untuk memperingan beban kehidupannya. Jika telah terasa ringan, ia harus mengekang/menahan diri dari meminta-minta.
2. Seseorang yang ditimpa musibah atau kecelakaan sehingga seluruh hartanya habis, ia boleh meminta-minta sehingga ia memperoleh kehidupan yang layak.
3. Seseorang yang sangat miskin, sehingga setidaknya ada tiga orang bijaksana di antara kaumnya yang berkata tentang dirinya, "Si fulan ini benar-benar miskin", maka ia boleh meminta-minta sehingga ia memperoleh kehidupan yang layak.

Artinya, terlarang meminta-minta sampai melebihi kebutuhan standar kehidupan layak, apalagi sampai menjadikansimpanan atau tabungan.
Setelah menjabarkan panjang lebar seperti itu, Nabi SAW bersabda lagi, "Wahai Qabishah, meminta-minta selain karena tiga sebab tersebut adalah usaha yang terlarang, dan orang yang memakannya berarti memakan barang yang haram…!!"

Abdullah Bin Zubair Ra

Abdullah bin Zubair RA merupakan salah satu sosok sahabat yang istimewa, karena ia berhijrah ketika dalam kandungan ibunya. Ibunya pun seorang yang istimewa, Asma binti Abu Bakar, yang mempunyai peran besar ketika Nabi SAW dan Ayahnya dalam awal hijrah dicari-cari oleh orang kafir Quraisy untuk dibunuh. Ayahnya adalah seorang sahabat yang dijamin masuk surga ketika masih hidup, salah satu dari sepuluh sahabat, Zubair bin Awwam RA. Allah menambah keistimewaannya karena ia menjadi bayi pertama yang lahir di masa hijrah. Tidak bisa dibayangkan bagaimana beratnya Asma binti Abu Bakar berhijrah, ia dalam keadaan hamil tua ketika harus menempuh panasnya padang pasir sejauh hampir 500 km. Ketika baru beberapa hari di Quba, ia melahirkan dan bayinya dibawa kepada Nabi SAW. Beliau mengecup pipi dan mulutnya, hingga air liur Rasulullah SAW memasuki rongga mulutnya, dan memberi nama ‘Abdulah’. Tidak cukup sampai disitu saja, seluruh kaum muslimin, baik Muhajirin atau Anshar, menggendong bayi Abdullah ini keliling kota Madinah sambil menggemakan tahlil dan takbir. Apa yang sebenarnya terjadi? Ternyata, Beberapa waktu sebelumnya orang-orang Yahudi menyebarkan berita bahwa dukun-dukun mereka telah menyihir kaum muslimin hingga menjadi mandul. Bagi penduduk Madinah, ancaman ini bukan hal sepele, karena selama ini mereka menganggap kaum Yahudi sebagai orang yang ‘dekat’ dengan Tuhan. Tetapi dengan kelahiran Abdullah ini, mereka memperoleh bukti bahwa orang-orang Yahudi tersebut hanya menyebarkan kabar bohong semata. Ibnu Zubair hanya dalam masa kanak-kanak ketika Rasulullah SAW masih hidup, tetapi itu cukup membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang kokoh dan teguh dengan keislaman, sebagaimana kedua orang tuanya. Ia berba'iat kepada Nabi SAW ketika masih berusia 7 tahun, dan beliau menerima ba'iatnya, padahal biasanya beliau tidakmau menerima ba'iat dari anak-anak. Ia tumbuh menjadi seorang ahli ibadah sebagaimana orangtuanya, dan sahabat sahabat senior Nabi SAW lainnya. Kesehariannya banyak diisinya dengan membaca dan mengkaji Al Qur'an, serta sunnah Nabi SAW, memperbanyak ibadah dan berpuasa di hari-hari yang panas karena rasa takutnya kepada Allah. Ketika sedang shalat, yakni saat sedang ruku dan sujud, tak jarang burung-burung dara bertengger di punggungnya tanpa sedikitpun merasa terganggu shalatnya. Suatu ketika Rasulullah SAW berbekam, dan menyuruh Ibnu Zubair untuk membuang atau mengubur darah yang dikeluarkan dari kepala beliau. Ibnu Zubair membawanya, tetapi bukannya membuang ia justru meminumnya. Ketika Nabi SAW kemudian mengetahuinya, beliau bertanya, "Wahai Abdullah, engkau kemanakan darah bekamku tadi?" Ibnu Zubair berkata, "Aku kuburkan di tempat yang paling tersembunyi, Ya Rasulullah.." Nabi SAW yang telah mengetahui apa yang dilakukan Ibnu Zubair hanya tersenyum, lalu bersabda, "Orang yang di dalamnya mengalir darahku, maka dia tidak akan disentuh api neraka…" Sesaat Rasulullah SAW tercenung, seperti menerawang jauh, kemudian bersabda lagi, "Tetapi bagaimanapun engkau akan membunuh orang, atau orang itu yang akan membunuhmu." Sabda Nabi SAW semacam ramalan bagaimana akhir kehidupan Ibnu Zubair. Bahkan saat kelahirannya, beliau pernah mengibaratkan bahwa Ibnu Zubair ini seperti seekor domba yang dikelilingi harimau yang berbulu domba. Pada masa khalifah Utsman bin Affan, ia bergabung dengan pasukan muslim yang dipersiapkan untuk menyerang pasukan Romawi yang berjumlah 200.000 orang, sementara pasukan muslim sendiri hanya 20.000 orang. Pimpinan pasukan adalah gubenur Mesir, Abdullah bin Abi Sarah. Pasukan ini ditujukan untuk membebaskan Afrika, Andalusia dan Konstantinopel dari penjajahan dan tirani Romawi. Pimpinan pasukan Romawi yang bernama Jarjir mengadakan sayembara, barang siapa bisa membunuh Abdullah bin Abi Sarah, ia berhak memperoleh hadiah sebesar 100.000 dinar dan menikahi anaknya. Sayembara ini disebarkan juga di kalangan kaum muslim. Abdullah bin Zubair melihat bahaya adu domba ini dalam strategi Jarjir itu. Karena itu dengan persetujuan komandannya, ia membuat sayembara tandingan, ia berkata, "Kita tidak perlu khawatir, kita juga mengumumkan, bahwa barang siapa yang bisa membunuh Jarjir, ia memperoleh hadiah 100.000 dinar, dan berhak menikahi putrinya." Ternyata tidak mudah membangkitkan semangat pasukan muslim hanya dengan sekedar sayembara tandingan seperti itu. Karena itu, Abdullah bin Zubair bersama sekelompok sahabat dan temannya menjadi pasukan perintis untuk menjebol pagar betis pasukan Romawi yang berlipat sepuluh kali lipat banyaknya tersebut. Ia berkata kepada pasukan perintis yang mendukungnya, "Lindungilah punggungku, dan marilah menyerbu musuh bersamaku…!!" Pasukan ini berhasil membelah pasukan Romawi, dan terus merangsek maju menuju satu titik, yakni tempat pengendali dan komandan pasukan, Jarjir. Seolah bahtera yang membelah gelombang, pasukan perintis ini seolah tidak terbendung hingga akhirnya sampai berhadapan dengan Jarjir. Abdullah bin Zubair sendiri yang bertempur dengan komandan pasukan Romawi yang ditakuti itu, dan akhirnya ia berhasil membunuhnya. Panji-panji Islam berkibar di pusat komando pasukan Romawi, dan pasukan muslim yang terus bergerak di belakangnya juga berhasil memporak-porandakan pasukan Romawi lainnya. Kemenangan yang gemilang ini tak lepas dari peran dan keberanian Abdullah bin Zubair, karena itu Abdullah bin Abi Sarah, komandan pasukan muslim, memberikan kehormatan kepadanya untuk menyampaikan sendiriberita kemenangan ini kepada Khalifah Utsman di Madinah. Abdullah bin Zubair tidak bisa menghindar ketika ia dihadapkan pada suasana fitnah setelah wafatnya khalifah Utsman. Dengan tegar ia berdiri di sisi Ali bin Abi Thalib, bahkan ketika Ali diturunkan dan kemudian tewas terbunuh, Ibnu Zubair dengan lantang menyatakan penolakannya untuk berba'iat kepada Muawiyah. Ketika Muawiyah memba'iat anaknya, Yazid bin Muawiyah untuk menjadi khalifah penggantinya, dengan tegas pula ia menolaknya. Walau berbagai ancaman ditujukan pada dirinya, ia berkata, "Sampai kapanpun dan bagaimanapun aku tidak akan berba'iat kepada si Pemabuk itu..!!" Sangatlah beralasan jika Ibnu Zubair menyatakan penolakannya ini tanpa tedeng aling-aling. Kalau terhadap ayahnya, Muawiyah, masih ada penghargaannya sebagai sahabat Nabi SAW dengan berbagai kebaikan dan kelebihannya, di samping beberapa kekurangannya. Tetapi terhadap Yazid tidak ada alasan apapun untuk mendukung dan menghargainya. Sebuah syair pendek dilontarkannya sebagai ungkapan sikapnya terhadap Yazid, "Terhadap hal yang bathil, tidak ada tempat berlunak dan berlembut, kecuali jika geraham, bisa mengunyah batu menjadi lembut….!!" Terbuktilah kemudian, Yazid banyak melakukan tindakan jahiliah yang menginjak-injak nilai-nilai keimanan dan kemanusiaan. Ia sama sekali tidak mengindahkan ajaran-ajaran Islam dan kecintaan kepada Nabi SAW, sebaliknya, hanya memperturutkan hawa nafsu dan ambisi kekuasannya semata. Pembantaian Husein bin Ali, cucu Rasulullah SAW di padang Karbala, beserta keluarganya dan para pengikutnya, penyerangan kota Madinah yang terkenal dengan peristiwa Harrah, dan akhirnya penyerangan kota Makkah, semua itu diarsiteki oleh Yazid bin Muawiyah. Peristiwa-peristiwa ini merupakan sisi kelam dalam sejarah perkembangan Islam. Setelah sikap penolakannya terhadap Yazid ini, Abdullah bin Zubair pindah ke Makkah, begitu juga denganHusein bin Ali yang juga dengan tegas menyatakan penolakannya. Ia ingin mengisi waktunya dengan lebih banyak ibadah, dan meninggalkan suasana "politik" yang penuh fitnah. Tetapi pena takdir telah menetapkan ia harus mengarungi jalan dan suasana tersebut untuk menemukan syahidnya. Selalu saja ada yang datang untuk berdiri di belakang dirinya, menyokong sikap-sikapnya, dalam melakukan perlawanan terhadap berbagai kedzaliman yang dilakukan oleh Yazid sebagai pihak penguasa. Walau niatnya menghabiskan waktu untuk ibadah, tetapi Abdullah bin Zubair tak ubahnya seorang pemimpin di antara orang-orang yang juga beribadah bersamanya. Tetapi, ternyata tidak semua pengikutnya itu memiliki niat tulus untuk menegakkan kebenaran semata-mata, seperti apa yang digambarkan dan diramalkan Nabi SAW saat kelahirannya,"Ia laksana domba, di antara harimau yang berbulu domba…" Setelah peristiwa Karbala, penduduk Madinah, yang sebagian besar adalah sahabat Anshar dan keturunannya, mulai menyatakan penolakannya dengan tegas atas kekhalifahan Yazid. Karena itu Yazid mengirim pasukanbesar untuk menyerang Madinah, dan setelah itu diperintahkan menyerang Abdullah bin Zubair di Makkah. Pada saat terjadi penyerangan Makkah dengan manjaniq, dimana penutup dan sebagian besar bagian Ka'bah terbakar, datanglah kabar dari Syam, bahwa Yazid mati. Pasukan itupun kembali ke Syam sebelum sempat menangkap atau membunuh Abdullah bin Zubair. Masyarakat Hijaz dan sekitarnya memba'iat Abdullah bin Zubair sebagai khalifah setelah kematian Yazid. Sementara itu, Bani Umayyah mengangkat putra Yazid, Muawiyah bin Yazid sebagai khalifah. Muawiyah ini sangat berbeda dengan ayahnya, ia seorang pemuda yang saleh, yang menghabiskan waktunya dengan ibadah. Seolah Allah ingin menjaga kebaikannya ini, ia dalam keadaan sakit ketika ayahnya meninggal, dan tetap dalam keadaan sakitselama empat puluh hari (atau dua bulan dalam riwayat lainnya), dan tetap tinggal di tempat tidurnyasampai ajal menjemputnya. Marwan bin Hakam mengangkat dirinya sebagai khalifah penerus Bani Umayyah, dan menjelang kematiannya, ia menunjuk putranya Abdul Malik bin Marwan sebagai penggantinya. Abdul Malik ini membentuk pasukan besar berjumlah 40.000 orang di bawah kepemimpinan Hajjaj bin Yusuf ats Tsaqafi untuk menyerang Ibnu Zubair di Makkah. Pasukan ini melakukan pengepungan Makkah selama berbulan-bulan sambil menyerangnya dengan manjaniq. Akibat pengepungan ini, sebagian besar anggota pasukan Ibnu Zubair menyerah atau membelot ke pasukan Hajjaj karena kekurangan makanan dan kelaparan. Tetapi ada juga yang berkhianat karena tergiur dengan berbagai tawaran kenikmatan duniawiahyang ditawarkan oleh Hajjaj. Pengikut yang setia mendampingi Ibnu Zubair makin sedikit saja, tetapi yang justru dikhawatirkan Ibnu Zubair adalah keselamatan para pengikutnya tersebut. Ia meminta mereka untuk menyingkir saja, tetapi mereka ini tidak mau meninggalkannya sendirian sebagaimana teman-temannya yang lain. Mereka siap mempertaruhkan nyawanya asalkan tetap diijinkan untuk mendampinginya. Abdullah bin Zubair menemui ibunya, Asma binti Abu Bakar yang telah berusia sekitar 97 tahun dan telah buta matanya, untuk mendiskusikan masalah yang dihadapinya. Ibnu Zubair menceritakan situasi yang sedang dihadapinya, dan berbagai kemungkinan yang terjadi pada pasukan yang dipimpinnya, yang jumlahnya memang sangat sedikit. Ibunya ini memang wanita hebat, putri dari seorang sahabat yang hebat, istri dari sahabat yang hebat, dan dipuji dan dididik oleh seorang yang mulia dan hebat, Nabi SAW.Karena perannya ketika membantu Rasulullah dan ayahnya ketika bersembunyi di gua Tsur, sebelum kemudian hijrah ke Madinah, beliau memberikan gelar kepadanya Dzatun Nithaqain. Atas permasalahan putranya ini, Asma menyatakan, bahwa tidak sepatutnya ia memilih dan melakukan sesuatu, kecuali di atas jalan kebenaran. Tidak ada kamus menyerah dan mundur dari perjuangan hanya karena terlalu kuatnya musuh, terlebih lagi karena terpikat oleh tawaran kenikmatan duniawiah, sungguh suatu kecelakaan besar dan menyimpang dari jalan yang dirintis oleh ayahnya, kakeknya, dan para sahabat yang telah gugur mendahuluinya. Abdullah bin Zubair berkata kepada ibunya, "Wahai Ibu, saya juga meyakini seperti itu, hanya saja saya khawatir, orang-orang Syam itu akan menyalib dan menyayat-nyayat tubuhku setelah mereka membunuhku!!” Memang, sebenarnya yang dikhawatirkan adalah perasaan ibunya kalau jasadnya akan diperlakukan dengan sangat biadab seperti yang telah "biasa" mereka lakukan sebelumnya, misalnya yang terjadi pada peristiwa Karbaladan Harrah. Apalagi pemimpin pasukan Syam itu, Hajjaj bin Yusuf ats Tsaqafi terkenal sebagai orang yang sangat kejam dan biadab, sangat jauh dari akhlak Islami walau dia pemeluk Islam. Namun, Ibnu Zubair memperoleh jawaban yang tidak tersangka-sangka dan sangat luar biasa dari ibunya, "Wahai anakku, sesungguhnya kambing itu tidak merasakan sakit walau dikuliti setelah disembelih, Teruskan langkahmu dan mintalah pertolongan kepada Allah…!!" Asma hendak memeluk putranya tersebut untuk terakhir kali, tetapi tangannya menyentuh baju besi yang dipakai Ibnu Zubair, segera saja ia berkata, "Apa-apaan ini Abdullah..!! Orang yang memakai ini, hanyalah mereka yang tidak menginginkan apa yang sebenarnya engkau inginkan… (yakni, kesyahidan)..!!" Abdullah bin Zubair segera melepas baju besi tersebut kemudian berpelukan dengan ibunya. Asma mengucapkan beberapa patah doa sebagai pengiring dan penyemangat anaknya untuk terakhir kalinya. Ibnu Zubair beranjak menuju sisa pasukan yang setia mendampinginya, kemudian mereka menyerang pasukan Hajjaj dan terjadi pertempuran tidak seimbang yang akhirnya mengantar Ibnu Zubair dan pasukannya menuju gerbang kesyahidan. Dan seperti telah diperkirakan oleh Ibnu Zubair, Hajjaj menyalib dan menyayat tubuhnya yang telah kaku. Namun semua itu tidaklah menjadikannya tercela, justru menambah kemuliaan dirinya di sisi Allah.

Itban Bin Malik ra.

Itban Bin Malik Ra Itban bin Malik RA adalah salah seorang sahabat Ahlul Badar, dan ia ditugaskan Nabi SAW untuk menjadi imam dalam shalat jamaah di masjid kaumnya, Bani Salim. Untuk sampai ke masjid/mushalla kaumnya itu, Itban harus melaluisuatu lembah. Jika turun hujan, ia mengalami kesulitan untuk melewati lembah tersebut, tetapi tetap saja ia melakukannya untuk sampai ke masjid dan melaksanakan tugas yang diberikan Rasulullah SAW kepadanya. Ketika usianya makin tua dan penglihatannya mulai berkurang, ia benar-benar merasa kesulitan untuk mendatangi masjid Bani Salim, terutama kalau sedang hujan, karena biasanya terjadi banjir atau banyaknya genangan air pada lembah yang harus dilaluinya. Karena itu ia bermaksud meminta keringanan kepada Nabi SAW atas tugas yang beliau berikan kepadanya. Apalagi di masjid Bani Salim tersebut telah ada beberapa orang lainnya yang bisa menggantikan tugasnya mengimami shalat jamaah. Itban bin Malik datang ke Madinah untuk menemui Rasulullah SAW, dan menyampaikan maksudnya tersebut. Rasulullah SAW memahami kesulitan Itban dan memenuhi permintaannya. Kemudian Itban berkata lagi, "Wahai Rasulullah, saya mohon tuan datang ke rumah saya, saya ingin menjadikan sebagian rumah saya untuk mushalla…" Sekali lagi Nabi SAW memenuhi permintaan Itban, dan berjanji untuk mendatangi rumahnya esok harinya. Keesokan harinya, ketika hari tidak begitu panas lagi, Nabi SAW bersama Abu Bakar datang ke rumah Itban. Setelah dipersilahkan masuk, beliau tidak langsung duduk tetapi justru bersabda, "Dimana tempat yang engkau harapkan aku akan shalat?" Itban mengantar Nabi SAW pada tempat disiapkan untuk mushalla, beliau berdiri dan bertakbir, ia dan Abu Bakar berdiri di belakang beliau ikut shalat juga. Beliau shalat sunnah dua rakaat, usai shalat, Itban mempersilahkan dua tamunya yang mulia ini makan bubur gandum yang telah disiapkannya. Penduduk kampung Itban yang mendengar kabar kehadiran Nabi SAW dan Abu Bakar, berbondong-bondong datang ke rumah Itban menemui beliau. Tetapi ada salah seorang warga yang berkata, "Apa gerangan yang sedang dilakukan Ibnu Malik..??" Seorang warga lainnya menyahuti, "Dia sih orang munafik, yang tidak cinta kepada Allah dan RasulNya…!!" Rasulullah SAW yang mendengar pembicaraan tersebut bersabda, "Janganlah kalian berkata seperti itu, apakah kalian tahu, dia (Itban) mengucapkan Laa ilaaha illallaah itu dengan tujuan mengharapkan keridhaan Allah?" "Allah dan RasulNya lebih mengetahui…" Kata salah seorang dari mereka, tetapi kemudian ia berkata lagi, "Adapun kami, demi Allah, tidaklah kami mengetahui pembicaraan dan kecintaannya melainkan condong kepada orang-orang munafik..!!" Melihat prasangka-prasangka yang berkembang seperti itu, beliau bersabda menegaskan, "Sesungguhnya Allah mengharamkan api neraka kepada orang-orang yang mengatakan : Laa ilaaha illallaah Muhammadur rasulullah, dengan tujuan untuk memperoleh keridhaan Allah…!!"